Wednesday, February 16, 2011

Pancasila Telah Mati


Oleh: Cucuk Espe, budayawan tinggal di Jombang, Jatim.

Siapapun pasti akan terkejut membaca judul ini. Wajar saja karena kita terbiasa dengan situasi yang nyaman tanpa perbedaan. Nah! Justru suasana tersebut semakin mengindikasikan Pancasila –sebagai spirit of nation—telah lama mati bahkan sejak beberapa tahun akhir rejim Orde Baru. Dan kini kematian itu semakin jelas.

Marilah kita berpikir dengan jernih tanpa emosi dan prasangka. Cermati situasi sosial sekarang ini yang semakin carut-marut. Selain tragedi hukum, ekonomi, pendidikan, dan kesehatan, sebuah bencana besar sedang menimpa bangsa ini, bencana kematian Pancasila. Hal ini ditandai dengan luruhnya spirit toleransi dan maraknya aksi anarkis membunuh perbedaan. Padahal keberagaman merupakan salah satu modal dasar pembangunan, begitu spirit yang tersirat dalam Bhineka Tunggal Ika.

Ada beberapa fakta yang mengindikasi Pancasila telah menjadi onggok pemikiran usang tanpa nisan. Tentu sebuah fakta yang menyedihkan sekaligus mengundang tanya; mau di bawa kemana bangsa ini? Fakta-fakta tersebut antara lain sebagai berikut.

Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, kini hanya simbol profan tanpa penghayatan esensial. Siapapun yang hidup di negeri ini ‘wajib’ ber-Tuhan dan mengamalkan dalam perilaku sosialnya. Tetapi kenyataannya, justru Tuhan menjadi pemicu utama konflik sosial bernuansa sara. Ya! Tuhan telah menjadi pemicu konflik. Simak aksi anarkis sejumlah ormas Islam atau konspirasi sejumlah pemuka agama di negeri ini yang akan mengubah karakter dasar bangsa yang plural-egaliter menjadi radikal berdasar satu keyakinan mayoritas. Dimana spirit Ketuhanan yang menghargai perbedaan dalam menjalankan keyakinan?

Berikutnya, tragedi kemanusiaan semakin terasa dengan penggilasan terhadap hak-hak warga negara. Dalam konteks ini, hak menikmati kenyamanan hidup sebagai manusia telah tertindas oleh kebijakan –pemerintah—yang tidak pro rakyat. Gagalnya swasembada pangan mengakibatkan harga sembako melangit sehingga memangkas harapan hidup rakyat dengan penghasilan minim. Korupsi di lingkungan pendidikan dan hukum, membuat rakyat terampas peluang memperoleh pendidikan dan keadilan. Padahal Pancasila mengamanatkan adanya negara yang dijalankan dengan semangat kemanusiaan sehingga tercipta tata sosial yang adil dan beradab.

Sementara hilangnya sebagian wilayah NKRI, turunnya kewibawaan Indonesia sebagai negara kepulauan besar di dunia, serta maraknya gerakan separatis dan terorisme membuktikan gagalnya pembinaan persatuan di negeri ini. Pancasila melalui sila ketiganya; Persatuan Indonesia ingin menciptakan tatanan negara yang mengedepankan spirit persatuan di antara seluruh perbedaan dan kepentingan. Nah! Sila itu telah terkhianati.

Yang paling parah, ketika ‘Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksaan dalam Permusyawaratan Perwakilan benar-benar diciderai dengan perilaku korup penuh kolusi yang membuat negeri ini menjadi porak-poranda secara politik. Selayaknya, negeri yang plural ini dipimpin oleh ‘hikmat kebijaksanaan’ dan mengutamakan permusyawaratan perwakilan. Seiring dengan kacaunya sistem hukum, politik, dan ekonomi menyiratkan adanya ‘hikmat kemafiaan’ telah memimpin negeri ini. Satu lagi, ‘permusyawaratan kepentingan’ telah menjadi panglima dalam menjalankan roda politik negeri ini. Akibatnya rakyat menjadi obyek yang harus menanggung beban, mau maupun tidak!

Terakhir, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia seolah telah berubah menjadi ‘Keadilan Sepihak bagi Seluruh Kelompok Mayoritas’. Nah! Minoritas, rakyat miskin dan siapapun yang mencoba melawan arus besar dalam rangka mengejawantahkan kreasinya, tidak serta-merta didukung oleh pengelola negara. Rejim mayoritas telah berkuasa, sebut saja mayoritas suku, agama, dan ras telah berubah menjadi ‘mesin politik’ yang besar untuk menggilas minoritas. Dimana letak keadilan untuk semua rakyat?

Diakui atau tidak, spirit Pancasila yang mengedepankan toleransi, keberagaman, keadilan telah tertindas dan mati oleh ketamakan mayoritas yang dibingkai dengan kepentingan politik. Mungkin, demi Indonesia lebih baik di masa depan, kita perlu melakukan kaji ulang atau revitalisasi spirit Pancasila agar Indonesia tetap tegak sebagai negara yang demokratis, plural, dan ‘merdeka’ dari belenggu pemikiran sempit yang ingin membelokkan wacana pluralis atas nama kelompok mayoritas.

Mampukah kita ‘hidupkan’ Pancasila? Atau kita ikut menziarai?***

No comments: