Thursday, March 3, 2011

Untung-rugi: Ada FPI di Sarang Islam


Oleh: Cucuk Suparno

Dipicu oleh peristiwa kekerasan di Serang dan Temanggung, dan terakhir di Pasuruan (Jatim), selama dua pekan lalu, keberadaan organisasi massa (ormas) Islam mendapat sorotan tajam. Apalagi Presiden SBY dengan tegas mengancam akan membubarkan ormas Islam yang anarkis. Seberapa besar nyali pemerintah menghadapi ormas agama mayoritas ini?

Keberadaan Ahmadiyah di Indonesia menjadi pemantik utama kekerasan atas nama agama di negeri ini. Berbekal surat keputusan bersama (SKB) tiga menteri, sejumlah ormas Islam maju menyerang basis pemukinan Ahmadiyah, seperti terjadi di Cikeusik, Serang, Banten. Pemerintah dianggap tidak tegas dan 'setengah hati' menjalani SKB itu, sehingga sejumlah ormas Islam hilang kesabaran.

Namun, terlepas dari persoalan SKB, seperti diamanatkan UUD 1945 bahwa negara menjamin kebebasan seseorang atau kelompok untuk menjalankan peribadatan sesuai dengan agama dan keyakinannya. Dalam konteks ini, jelas pelarangan Ahmadiyah mengingkari amanat konstitusi dasar tersebut. Di sisi lain, jika ada golongan yang melakukan cara-cara anarkis dengan dalih apapun -termasuk agama-maka hukum positif akan menindak sesuai prosedur yang ditentukan.

Diantara silang-sengkarut konflik bernuansa sara itu, muncul nama Front Pembela Islam (FPI) yang memang memiliki track record kurang simpati di mata sebagian masyarakat dan aparatur negara. Tidak hanya terhadap persoalan Ahmadiyah, tetapi mulai aksi anarkis terhadap hiburan malam, sweeping warga asing yang terjadi beberapa waktu silam, membuat ormas ini sering dituding menjadi biang kericuhan. Nah! Begitu Presiden SBY mengancam akan membubarkan ormas Islam yang anarkis, FPI-lah yang menanggapi paling reaktif. Dalam ilmu komunikasi massa, siapapun yang bersikap reaktif terhadap sebuah sikap atau pernyataan pada dasarnya dia terlibat atau ikut serta dalam 'pernyataan itu'.

Artinya, muncul pertanyaan, jika FPI bukan termasuk ormas anarkis, mengapa pimpinan tertingginya dalam sebuah kesempatan justru mengancam balik akan menuntut SBY mundur jika tetap membubarkan ormas Islam? Pernyataan tersebut menunjukkan secara tidak langsung jika FPI adalah ormas anarkis.

Teror Islam
Ahmadiyah, SKB tiga menteri, serta kemerdekaan beragama merupakan pemantik saja, kini persoalan telah bergeser. FPI -yang merasa disebut anarkis-mengajukan tiga tuntutan; pertama bubarkan Ahmadiyah, laksanakan SKB tiga menteri dengan seksama, terakhir turunkan SBY jika tidak mampu menuruti dua tuntutan sebelumnya. Kenyataan ini menunjukkan arogansi dan sikap super reaktif yang semakin menjauhkan rasa simpati publik. Patut diingat, Indonesia adalah negara plural dan menjadikan perbedaan sebagai modal dasar pembangunan.

Menurut saya, kehadiran FPI -dalam konteks ini langsung saya sebut-membuahkan citra lain terhadap Islam di Indonesia. Dimana kesantunan, toleransi, menjunjung perbedaan, dan dakwah dengan semangat kekeluargaan tidak ditemui lagi. Yang ada hanya turun ke jalan, teriak-teriak, melempar batu, merusak pagar sehingga terkesan banal dan liar. Ironisnya, dilakuakan oleh kalangan muslim itu sendiri.

FPI dibentuk memang bertujuan menjaga syariah Islam dan menegakkan perikehidupan umat muslim. Tetapi cara yang dipakai sangat arogan dalam suasana negara yang sangat majemuk. Tidak jarang cara-cara ormas Islam tersebut menimbulkan konflik horizontal yang berkepanjangan. Islam -dipandang dari luar-telah berubah menjadi agama yang beringas, liar, dan penuh teror. Spirit toleransi antar umat beragama, menjunjung tinggi perbedaan telah hilang. Fenomena inilah yang akan menciderai, merusak wibawa Islam itu sendiri. Karena anarkisme sangat tidak kehendaki oleh Rosulullah meskipun dalam rangka amar makruf nahi munkar.

Siapapun yang merasa tertuduh dengan ucapan Presiden SBY itu, selayaknya introspeksi dan mengkaji ulang metode dakwah yang dijalankan. Jangan sampai Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin berubah menjadi rahmatan untuk segelintir umat saja. Padahal tidak semua umat muslim di Indonesia sepakat dengan cara-cara arogan ormas Islam tersebut. Dikaui atau tidak, cara FPI -saya sebut begitu-dinilai sangat provokatif dan meresahkan warga.

Memang kebebasan berserikat dan berkumpul dijunjung tinggi tetapi dalam konteks FPI-Ahmadiyah, Islam seolah hadir dengan wajhr teroris. Publik menilai FPI ada di balik kerusuhan itu, meski pernyataan saya ini perlu dibuktikan kebenarannya. Kesantunan dalam spirit toleransi antar umat beragama menjadi terusik karena kehadiran FPI yang atraktif. Jika Islam terus dikembangkan dengan spirit radikal-anarkis, saya justru khawatir dengan keberadaan Islam itu sendiri sebagai agama yang santun. Jadi, ada FPI di sarang Islam. ***

Sumber: Harian Bhirawa (17/02/2011)

Dunia Tanpa Tuhan


Oleh: Cucuk Espe*)

Menyimak serangkaian peristiwa agama beberapa minggu terakhir, saya pun bertanya; mengapa begitu pragmatis memahami nilai Ketuhanan dalam rangka menciptakan relasi sosial yang damai? Konflik pun muncul karena distorsi penghayatan agama sebagai landasan hidup bermasyarakat. Inilah kenyataan masyarakat kita.

Tidak ada satu agama pun di dunia ini yang mengajarkan kekerasan. Dan tidak ada satu ajaran agama yang menganjurkan menghancurkan siapapun yang berbeda keyakinan –sekalipun keyakinan lain itu dianggap keliru. Kalau pun akhirnya terjadi tragedi –berdarah—sara, adalah bukti jika kita masih primitif dalam pemahaman keagamaan. Karakter dasar kaum primitif adalah menolak dan menghancurkan apapun juga siapapun yang tidak sesuai dengan laku hidup mayoritas. Penghayatan agama secara primitif adalah penghayatan yang picik.

Dalam konteks negeri kita, kekacauan sara muncul akibat piciknya pemahaman pluralisme sebagai ‘kenyataan tak tertolak’ yang mendukung tegaknya bangsa ini. Kemajemukan atau pluralisme merupakan kekayaan kultural yang memiliki nilai keunikan tersendiri. Semestinya kita menghayati pluralisme dan dengan santun melihat perbedaan sebagai kekuatan, apapun perbedaan itu. Ilustrasi paling ekstrim, biarpun kita bertetangga dengan orang tak bertuhan sekalipun, tidak serta-merta kita merajam atau membunuh orang tersebut atas dasar keyakinan kita.

Oleh karena itu, saya hanya tertawa –namun sangat prihatin—melihat serangkaian peristiwa sara di negeri ini. Apalagi institusi agama –kepanjangan tangan pemerintah—ikut campur ‘mengatur benar-salah’ seolah ‘merampok otoritas Tuhan’ dalam menentukan kebenaran sebuah keyakinan. Mengapa kita tidak mampu duduk bersama dengan penuh keikhlasan membicarakan bagaimana setrategi hidup di tengah perbedaan. Dengan demikian situasi saling menghormati akan terjadi. Inilah hakikat pluralisme itu!

Teologi Sosial

Salah satu aspek memahami hadirnya Tuhan adalah kesadaran menerima perbedaan. Karena –dalam keyakinan saya—perbedaan adalah rahmat. Makna perbedaan menyiratkan situasi yang sangat luas bahkan tanpa batas sejauh perbedaan itu kita temukan. Perbedaan dalam konteks apapun harus kita pahami sebagai rahmat agar kita mampu belajar dari perbedaan itu, tujuannya membuat hidup lebih bijak. Sebaliknya jika kita mengganyang perbedaan itu berarti kita sedang tidak belajar bijak. Sebab kebijakan hidup adalah puncak kesadaran menerima perbedaan.

Dalam memahami agama, saya mengajukan dua diskursus yang masing-masing membawa implikasi perilaku berbeda. Pertama, diskursus teologis yang memosisikan Tuhan sebagai kebenaran tunggal dan selayaknya dihayati sebagai keyakinan final. Menghayati kebenaran Tuhan akan lebih baik jika dilakukan ‘di ruang privat’ tanpa harus berteriak-teriak (turun ke jalan, memjebol pagar, merusak sarana ibadah lain) dan melakukan aksi yang mengganggi ketertiban umum. Secara teologis, misi dakwah harus disampaikan dengan memberikan contoh bukan memaksa dengan kata. Kekeliruan pemahaman ini seringkali memunculkan konflik sara.

Kejengkelan atau kemarahan –terhadap ‘spesies keyakinan lain’ tidak harus disampaikan dengan merusak sarana ibadah. Dalam diskursus ini, aspek menahan diri menjadi sesuatu yaang penting karena dengan menahan diri akan muncul kejernihan bertindak. Sayangnya, pemerintah –sebagai decission maker— juga tidak mampu menahan diri dan terseret arus besar pragmatisme hingga mengeluarkan keputusan yang mengganggu jalannya spirit pluralisme.

Kedua, diskursus sosial menyiratkan makna adanya ketenangan, keselarasan, dan keharmonisan tata kehidupan sosial. Agama sebagai spirit privat harus menjadi landasan kesadaran menciptakan suasana damai. Damai dalam menjalankan –apapun—aktivitas setiap individu tanpa takut diganggu. Saya memahami, orang atau masyarakat yang memiliki pemahaman cukup baik terhadap dimensi sosial sebuah agama, tentu tidak akan berbuat anarkis sekalipun terhadap orang yang mengingkari ‘tuhannya’.

Puncak pemahaman makna sosial sebuah agama adalah perilaku santun dalam menyikapi pluralisme. Bahwa ‘sebeda’ apapun toh tetap manusia yang harus diperlakukan secara layak, disapa secara baik, dan dia ajak bicara dengan damai. Agama manapun tentu tidak mengajarkan penggerusan ajaran lain yang berberangan, sekalipun perseberangan itu berupa pengkhianatan teologis. Jadi tidak ada alasan untuk memojokkan dan meminggirkan hanya karena beda pemahaman meski bersumber dari keyakinan teologis yang sama. Jangan sampai dunia ini brutal seolah tanpa Tuhan.

Sumber: Kompasiana (03/03/2011)
*) Penulis dan Budayawan tinggal di Jombang, Jatim

Friday, February 18, 2011

KOMUNISASI INDONESIA


Oleh: Cucuk Espe*)

Komunisme telah usang, menjadi barang mati dan menghuni lorong kumal sejarah bangsa ini. Dalam konteks sejarah sosial-politik bangsa ini, komunisme menjadi monster menakutkan yang mengundang phobi. Negara pun mengharamkan lahir dan berkembangnya komunisme paska tragedi 1965. Namun kenyataannya –saat ini—justru komunisme bermetamorfosis menjadi komunisasi. Nah! Bagaimana itu terjadi?

Komunisme pernah melukai sejarah bangsa ini, luka yang menimbulkan tragedi nasional dalam konteks ‘perang kepentingan’ raksasa di era Orde Lama. Perang tersebut menimbulkan phobia yang hebat hingga segala atribut, ikon, atau apapun yang ‘dekat’ dengan paham komunis diberangus. Dalam esai ini, saya tidak ingin membicarakan laku-biadap kaum komunis di era itu. Fokus diskusi esai ini adalah spirit laku-biadap itu yang saat ini kembali mengemuka dalam bingkai yang lebih modern. Inilah yang saya sebut komunisasi.

Disadari atau tidak, praktek komunisasi saat ini telah merasuk ke hampir seluruh aspek kehidupan bangsa ini. Melalui bingkai kebebasan demokratis, atas nama hak asasi manusia, pemurnian ajaran atau keyakinan tertentu, komunisasi telah menancapkan akarnya. Makna komunisasi adalah proses ‘seperti’ cara-cara komunis yang dilakukan dalam menyikapi serangkaian fenomena modernisasi.

Sekali lagi, dalam membicarakan ‘cara komunis’. Saya tidak ingin terjebak kepada ide dasar komunis yang dirumuskan Karl Marx atau esensi komunis seperti ditulis Maxim Gorky. Tetapi –dengan analogi sederhana—makna ‘cara komunis’ adalah cara-cara yang dilakukan kaum komunis di akhir era Orde Lama. Betapa kasar, licik, penuh muslihat, dan menggunakan agama sebagai alat mencapai kepentingan yang profan. Jujur saja, cara-cara tersebut yang kini marak berkembang di tengah masyarakat kita.

Sekedar contoh, di bidang ekonomi, tingginya pengangguran, mahalnya sembako, hingga matinya hak-hak kaum petani merupakan ciri utama gerakan komunis dalam rangka ‘menggayang’ rakyatnya sendiri yang tidak sepaham. Macetnya link and macth di lingkungan pendidikan membuahkan kerumitan dan ketidakberdayaan publik di hadapan pendidikan sehingga kaum pengangguran turun ke jalan menuntut jaminan hak hidup sesuai amanat UUD 1945. Celakanya –dan banyak terjadi—jika kaum penganggur tersebut akhirnya berlaku kriminal. Inilah salah kita!

Contoh lain, di wilayah politik, semakin bertambahnya petualang politik yang berjuang demi kedudukan dan partai politik mengingatkan kita kepada situasi di era Orde Lama akhir. Ketika itu, Dipo Nusantara Aidit atau DN Aidit melalui gerakan Manipol Usdek-nya yang seolah-olah membela rakyat, ternyata menyimpan kepentingan besar, yakni kemenangan komunis itu sendiri. PKI harus menguasai Indonesia dari segala lini. Implikasinya, praktik korupsi, kolusi, nepotisme menjadi laku-utama kaum komunis kala itu. Fenomena itu terjadi sekarang!

Di bidang kehidupan beragama, justru terjadi lebih ngeri lagi. Agama kini menjadi komoditi dunia modern dan kehilangan nilai kesakralannya. Jujur saja, saya sebut agama mayoritas di negeri ini, Islam yang kini menjadi komoditi segala perangkat modernitas. Islam menjadi komoditi politik dan laku sosial-profan penganut agama itu sendiri. Ambil contoh, masuknya Islam di ranah politik mengingatkan kita dengan tiga simbiosis; Nasakom (nasional-agama-komunis). Agama menjadi ‘atribut’ politik yang memiliki nilai jual tinggi sehingga agama (baca; Islam) di era kekinian ‘bisa menjadi’ partai politik.

Tidak hanya itu, krisis akibat hilangnya esensi fungsi agama telah menggiring kepada anarkisme atas nama agama. Menurut saya, apapun alasannya jika atribut bersorban, meneriakkan takbir lantas turun ke jalan, melempar dan merusak fasilitas publik (baca; tempat ibadah) adalah laku-komunis yang vandal dan jauh dari spirit toleransi yang mengedepankan musyawarah. Dalam konteks ini, agama menjadi sangat brutal menjadi ciri utama hadirnya watak komunis dalam kehidupan agama masyarakat modern.

Nah! Pada milenium supermodern ini, laku komunis –lepas dari wacana lahirnya gagasan itu—menjadi nyata dan terjadi hampir setiap hari. Jika kita simak peristiwa yang muncul setiap hari, laku picik, anti-toleransi, korupsi, brutal atas nama agama terjadi tanpa henti. Ini bukti nyata jika telah terjadi komunisasi masyarakat Indonesia modern. Perlu kiranya dilakukan kaji-strategi baru untuk membangun mental dan karakter bangsa yang santun dan jauh dari karakter vandalis. Kalau tidak, selamat datang komunisasi! (*)


Penulis: Budayawan dan Humas Lembaga Baca Tulis Indonesia

Sumber: Kabar Indonesia

Thursday, February 17, 2011

Korupsi, ke Indonesia Saja!


Oleh: Cucuk Espe, Budayawan tinggal di Jombang, Jatim

Korupsi di Indonesia semakin merajalela. Semakin diberantas, pertumbuhannya semakin pesat. Bahkan survey Indonesia Corruption Wacth (ICW) semester pertama 2010, Indonesia menduduki sepuluh besar negeri terkorup di Asia. Nah! Adakah yang salah dalam mengelola negeri ini? Marilah kita merenung.

Diakui atau tidak, pertumbuhan indeks korupsi di Indonesia berjalan seiring dengan kegetolan pemerintah dalam memberantas penyakit masyarakat tersebut. Boleh dikatakan, Indonesia merupakan surga bagi para koruptor. Bisa dibayangkan, koruptor yang telah menjarah triliunan uang rakyat, dengan enak melenggang ke penjara cuma beberapa tahun. Memperoleh remisi dan bebas. Tidak hanya itu, tak jarang ‘mantan koruptor’ ini mendadak menjadi pemimpin di suatu wilayah tertentu. Cukup banyak terjadi di negeri ini!

Implikasinya, tidak salah jika semakin banyak koruptor lahir dan bercokol di negeri ini. Sekedar contoh, mulai Edy Tansil –yang hingga kini raib--, hingga Anggodo dan Gayus Tambunan. Belum lagi, para koruptor yang berasal dari daerah kabupaten atau kota, tentu ratusan jumlahnya. Apa sanksi bagi mereka? Sekedar penjara yang dilengkapi fasilitas mewah. Maka tidak salah jika saya katakan ada uang maka penjara pun nyaman.

Negeri ini memang salah urus. Monarki Orde Baru –saya sebut begitu—menggunakan model demokrasi semu. Artinya, sistem pemerintahan ditata seolah demokratis padahal monopoli, kekuasaan di tangah penguasa, lahirnya pemimpin-pemimpin ‘boneka’ menjadi agen legal untuk melanggengkan pemerintah penguasa. Korupsi, ketika itu, berjalan sistemik sehingga dampaknya tidak terasa. Baru setelah utang negara menumpuk, rakyat merasa jika pembangunan atau keberhasilan yang dicapai hanyalah seremonial politis yang semu. Nyatanya? Rakyat tidak diajak untuk mandiri tetapi di-desain semakin terganntung kepada penguasa.

Puncaknya, terjadi di era Reformasi. Melihat euforia reformasi –dimulai 1998--, lahir petualang-petualang baru yang memanfaatkan situasi untuk tampil ke permukaan. Tampil tidak membawa perubahan melainkan ingin menangguk keuntungan pribadi dengan cara yang korup. Siapa lagi yang salah?

Mental Korup
Indonesia tidak lebih baik –dalam hal mengelola sumbardaya aparatur negara—ketimbang Myanmar, Thailand, bahkan Cina (data dirilis UNDP, 2010). Artinya, dalam hal menata aparatur negara, Indonesia menduduki peringkat buruk. Indikatornya adalah adanya perilaku korup yang ditunjukkan petinggi negeri ini. Tak terkecuali anggota DPR pusat maupun daerah, bertindak korup seor\lah telah menjadi bagian hidup.

Korupsi, menurut saya, tidak hanya bisa diberantas dengan regulasi politis yang terjabar dalam komisi-komisi. Memang secara parsial bisa mengendalikan laju berperilaku korup para aparatur negeri. Yang lebih penting adalah membuat formulasi regulasi kultural yang mampu menekan perilaku korup. Sebab korupsi di negeri kini telah menjadi part of life atau bagian hidup. Karena menjadi bagian hidup, otomatis korupsi adalah budaya di negeri ini. Sehingga penanggulangannya selayaknya juga menggunakan setrategi budaya.

Mental korup adalah bagian cara berpikir dan bertindak –hampir seluruh—apatur negeri ini. Ambil contoh sederhana, mulai tingkat desa hingga pemerintahan pusat korupsi terjadi secara proporsional dan sistemik. Semisal pembuatan kartu penduduk (KTP), tidak ada aturan yang menyebutkan setiap tanda tangan berkas (mulai desa, kecamatan, hingga kepolisian) selalu minta uang amplop. Alasan untuk administrasi padahal hal itu menyalahi aturan yang ada.

Ini adalah bukti, jika aksi korupsi telah mewabah hingga tingkat satuan masyarakat terkecil. Modusnya beragam dengan nilai korupsi sebanding dengan wilayahnya. Ada jargon; jika masyarakat mau menyuap atau korupsi, kenapa tidak disambut baik? Aparatur pemerintah yang semestinya menjadi panutan, justru berlaku korup. Jadi pelaku korup tidak hanya dimonopoli pejabat di tingkat pusat. Justru korupsi tumbuh subur di tingkat kabupaten atau kota. Korupsi telah menjadi bagiann integral pengelolaan negeri ini.

Lebih memprihatinkan lagi, aksi korupsi saat ini telah melebarkan sayap ke beberapa wilayah vital dalam sebuah pemerintahan daerah. Sebut saja, kalangan pendidikan, kesehatan, hingga industri pariwisata. Berbagai proyek atau program terkait pemberdayaan masyarakat –bisa dipastikan—dilingkupi suasana praktek korupsi. Jadi, tidak alah jika saya sebut kita ini memang bermental korup.

Korupsi memang menjadi problem budaya yang sangat susah mengatasinya. Regulasi ‘wajar’ tidak cukup memberangus tindak korup warga negeri ini. Belajar dari Cina, koruptor di hukum mati bahkan seluruh keluarganya diberi sanksi sosial ternyata memberikan efek jera yang luar biasa. Dan Cina berhasil menekan indeks korupsinya. Hal yang sama terjadi di Myanmar, Thaliland, Brunai Darusalam, dan beberapa negara di Asia lainnya. Lantas Indonesia?

Harus ada sanksi sosial (baca; moral) bagi pelaku korupsi. Sebab penjara saja tidak cukup membuat efek jera. Sanksi moral bisa berupa penghapusan hak-hak tertentu sebagai warga negara, serta model ‘penjeraan’ secara sosial lebih efektif menggayangn koruptor. Ironisnya, aksi pengganyangan koruptor ini tidak dilakukan secara simultan. Mungkin karena pemerintah tidak cukup memiliki nyali untuk memberantas korupsi hinga ke akar persoalan.

Mental korup harus dihadapi dengan setrategi budaya yang menjunjung tinggi moralitas. Karena korupsi adalah persoalan mental maka terapi secara mental pula harus dilakukan. Misalnya, garapan bersama melawan korupsi yang diawasi secara ketat oleh aparat berwenang. Pengawasan ini dilakukan mulai tingkat terrendah hingga tingkat pusat. Jika tidak, aksi korup semakin menggila karena tidak ada regulasi yang mengatur.

Indonesia pun menjadi surga kaum koruptor!***

Wednesday, February 16, 2011

Pancasila Telah Mati


Oleh: Cucuk Espe, budayawan tinggal di Jombang, Jatim.

Siapapun pasti akan terkejut membaca judul ini. Wajar saja karena kita terbiasa dengan situasi yang nyaman tanpa perbedaan. Nah! Justru suasana tersebut semakin mengindikasikan Pancasila –sebagai spirit of nation—telah lama mati bahkan sejak beberapa tahun akhir rejim Orde Baru. Dan kini kematian itu semakin jelas.

Marilah kita berpikir dengan jernih tanpa emosi dan prasangka. Cermati situasi sosial sekarang ini yang semakin carut-marut. Selain tragedi hukum, ekonomi, pendidikan, dan kesehatan, sebuah bencana besar sedang menimpa bangsa ini, bencana kematian Pancasila. Hal ini ditandai dengan luruhnya spirit toleransi dan maraknya aksi anarkis membunuh perbedaan. Padahal keberagaman merupakan salah satu modal dasar pembangunan, begitu spirit yang tersirat dalam Bhineka Tunggal Ika.

Ada beberapa fakta yang mengindikasi Pancasila telah menjadi onggok pemikiran usang tanpa nisan. Tentu sebuah fakta yang menyedihkan sekaligus mengundang tanya; mau di bawa kemana bangsa ini? Fakta-fakta tersebut antara lain sebagai berikut.

Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, kini hanya simbol profan tanpa penghayatan esensial. Siapapun yang hidup di negeri ini ‘wajib’ ber-Tuhan dan mengamalkan dalam perilaku sosialnya. Tetapi kenyataannya, justru Tuhan menjadi pemicu utama konflik sosial bernuansa sara. Ya! Tuhan telah menjadi pemicu konflik. Simak aksi anarkis sejumlah ormas Islam atau konspirasi sejumlah pemuka agama di negeri ini yang akan mengubah karakter dasar bangsa yang plural-egaliter menjadi radikal berdasar satu keyakinan mayoritas. Dimana spirit Ketuhanan yang menghargai perbedaan dalam menjalankan keyakinan?

Berikutnya, tragedi kemanusiaan semakin terasa dengan penggilasan terhadap hak-hak warga negara. Dalam konteks ini, hak menikmati kenyamanan hidup sebagai manusia telah tertindas oleh kebijakan –pemerintah—yang tidak pro rakyat. Gagalnya swasembada pangan mengakibatkan harga sembako melangit sehingga memangkas harapan hidup rakyat dengan penghasilan minim. Korupsi di lingkungan pendidikan dan hukum, membuat rakyat terampas peluang memperoleh pendidikan dan keadilan. Padahal Pancasila mengamanatkan adanya negara yang dijalankan dengan semangat kemanusiaan sehingga tercipta tata sosial yang adil dan beradab.

Sementara hilangnya sebagian wilayah NKRI, turunnya kewibawaan Indonesia sebagai negara kepulauan besar di dunia, serta maraknya gerakan separatis dan terorisme membuktikan gagalnya pembinaan persatuan di negeri ini. Pancasila melalui sila ketiganya; Persatuan Indonesia ingin menciptakan tatanan negara yang mengedepankan spirit persatuan di antara seluruh perbedaan dan kepentingan. Nah! Sila itu telah terkhianati.

Yang paling parah, ketika ‘Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksaan dalam Permusyawaratan Perwakilan benar-benar diciderai dengan perilaku korup penuh kolusi yang membuat negeri ini menjadi porak-poranda secara politik. Selayaknya, negeri yang plural ini dipimpin oleh ‘hikmat kebijaksanaan’ dan mengutamakan permusyawaratan perwakilan. Seiring dengan kacaunya sistem hukum, politik, dan ekonomi menyiratkan adanya ‘hikmat kemafiaan’ telah memimpin negeri ini. Satu lagi, ‘permusyawaratan kepentingan’ telah menjadi panglima dalam menjalankan roda politik negeri ini. Akibatnya rakyat menjadi obyek yang harus menanggung beban, mau maupun tidak!

Terakhir, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia seolah telah berubah menjadi ‘Keadilan Sepihak bagi Seluruh Kelompok Mayoritas’. Nah! Minoritas, rakyat miskin dan siapapun yang mencoba melawan arus besar dalam rangka mengejawantahkan kreasinya, tidak serta-merta didukung oleh pengelola negara. Rejim mayoritas telah berkuasa, sebut saja mayoritas suku, agama, dan ras telah berubah menjadi ‘mesin politik’ yang besar untuk menggilas minoritas. Dimana letak keadilan untuk semua rakyat?

Diakui atau tidak, spirit Pancasila yang mengedepankan toleransi, keberagaman, keadilan telah tertindas dan mati oleh ketamakan mayoritas yang dibingkai dengan kepentingan politik. Mungkin, demi Indonesia lebih baik di masa depan, kita perlu melakukan kaji ulang atau revitalisasi spirit Pancasila agar Indonesia tetap tegak sebagai negara yang demokratis, plural, dan ‘merdeka’ dari belenggu pemikiran sempit yang ingin membelokkan wacana pluralis atas nama kelompok mayoritas.

Mampukah kita ‘hidupkan’ Pancasila? Atau kita ikut menziarai?***

Friday, February 4, 2011

BALASAN GAYUS ATAS SURAT MARKUS (21/01/2011)

oleh: Cucuk Espe

Senin, 23.09 WIB, Untuk Mas Markus,

Salam bahagia...Mas, saya sudah menerima surat Mas Markus, rasanya seneng sekali. Apalagi setelah memberi uang saku penjaga di depan, saya dapet pinjeman laptop, bisa onlen dan baca-baca komen di fesbook. Rasanya, dunia masih dalam genggaman saya.

Benar, Mas..meski saya sekarang tidak sebahagia Tante yang telah bebas dengan rekayasa syarat, tapi perlahan saya mulai betah, Mas. Semua yang disini bersahabat. Betul! Ada yang sering kasih pinjem hape, laptop, bahkan ngajak saya makan di kantin dekat ruang kepala. Rasanya saya menjadi tamu VIP, hehehe...

Mas, sekedar tahu. Jangan hiraukan berita di teve tentang saya. Jujur saja, saya terus mengikuti berita-berita itu. Kayaknya masalah saya ini ruwet, kusut! Sebenarnya tidak, Mas...kan biasa pegawai golongan III jadi tumbal agar golongan IV dan eselon yang lebih tinggi selamat.

Makanya, saya mau jadi tumbal, asalkan masih bisa plesir, ajojing di Macau, atau kencan di Singapura. Sebentar lagi...mungkin bulan empat, saya melancong lagi...(yg ini jgn diberitahu siapapun, mas...sebab sedang diatur, seolah ada masalah besar sehingga kepergian saya luput dari sorotan kamera).

Tenang, Mas Markus...apa sih yang tidak bisa direkayasa di negeri ini? Kemarin, saya ketemu Opa, dia semakin sehat karena terus mendapat dukungan dari kakak Opa yang di luar negeri itu. Oh..ya, ada salam dari Opa.

Cukup sekian ya...Mas Markus, hati-hati di luar. Akhir pekan, saya kasih saku orang-orang di depan, kita ketemu di tempat biasa yaa....

Salam Bahagia,

GAYUS HALOMOAN

SURAT UNTUK GAYUS

oleh: Cucuk Espe

Dik Gayus,

Gimana kabar di sana? Sahabat-sahabatmu masih baik-baik saja. Meski terkadang sedih membayangkan Dik Gayus akan kesulitan ‘dolan-dolan’ ke Singapura, Macau, atau cuma ke Bali. Meski begitu, seluruh sahabatmu yakin, Dik Gayus masih mampu melakukan semuanya. Bukankah Dik Gayus memiliki cara halus tanpa terendus? Kita yakin!

Meski Dik Gayus dituntut ‘ngamar’ tujuh tahun, tanpa banyak fasilitas seperti kamarnya tante yang full AC dan karaoke, tetapi jangan berkecil hati. Ada sahabatmu yang sanggup mengirim pasport dengan lebih sempurna. Yang kemarin itu desain drafisnya kurang sempurna, Dik!

Selain itu, mulai sekarang Dik Gayus harus sering memberi rokok, uang bensin, atau sekedar sawer kepada penjaga kamar, biar kalau keluar sekedar membeli sekuteng di cafe Kemang –favorit kita—bisa dengan gampang. Jangan lupa juga, belikan BB terbaru kepada penjaga itu. Sewaktu-waktu dapat dipinjam agar kita bisa saling ngobrol, janjian, atau sekedar ngerasani paman yang dituduh membunuh istri orang sepulang golf.

Eh, ada kabar baru Dik! Jika artis wajib hukumnya membuat pencitraan di hadapan masyarakat agar job-nya mahal. Tetapi kalau aparat bahkan pemimpin rame-rame bikin citraan tanpa mau melihat kenyataan? Edan kan? Woow...Dik Gayus tenang, bisa jadi sampeyan dijadikan komoditi citraan. Memang sih..dulu itu sampeyan keterlaluan ngambil duitnya. Tapi gak apa-apa, pendahulu sampeyan juga ada yang lebih rakus kok...

Sampai di sini dulu ya, Dik Gayus...pesan saya, jangan setengah-setengah menjalani sesuatu. Banyak contoh! Ada aparat setengah-setengah (gampang disuap), ada pemimpin setengah-setengah (malas kerja, banyak talk show), ada politisi setengah-setengah (cuekin rakyat, kibul pendapat). Ah...! Sudahlah Dik...Memang begitu jamannya.

Paman dan tante tadi titip salam.


Saudaramu,

Markus Halomoan