Friday, August 3, 2007

Kabar Sastra

Langka, Karya Sastra Berbasis Sejarah
Oleh: Cucuk Espe,

Almarhum Pramudya Ananta Toer merupakan sastrawan yang memiliki komitmen kuat untuk mengolah fakta sejarah ke dalam karya kreatif. Novel-novelnya berlatar sejarah dengan jalinan cerita cukup memikat. Namun sayang, era pasca Pram –begitu panggilan akrabnya—sulit mencari sastrawan yang memiliki kepekaan sejarah dan menjadikan tema utama penceritaannya.

Novel-novel fenomenal seperti Cerita dari Blora, Rumah Kaca, Keluarga Gerilya, Kerandji-Bekasi, hingga Arok Dedes (naskah teater) adalah sastra sejarah karya Pramudya Ananta Toer yang cukup menarik. Sebuah realita sejarah mampu direpresentasikan kembali dengan tanpa mengurangi hakikat kesejarahannya. Artinya, Pram mampu menggabungkan dan ‘mengkomunikasikan’ realita sebenarnya dan realita imajinatif dengan sangat kreatif. Sehingga ketika pembaca berhadapan dengan novel-novel tersebut, imajinasi terasa enjoy dibawa rangkaian alur dan karakter tokoh cerita yang kuat. Jadinya, sebuah ‘bacaan sejarah’ yang tidak kering dan multiinterpretatif.
Di masa kini –era 90 hingga 2000-an--, begitu banyak sastrawan atau penulis muda yang lahir. Mereka hadir membawa karya dengan karakter yang cukup beragam. Sebut saja, Djenar Mahesa Ayu dan Fira Basuki dengan tema-tema remaja serta aktivitas sekssualitasnya. Ayu Utami dan Dewi Lestari dengan tema psikososial kehidupan metropolis yang diolah secara absurd. Para penulis tersebut –dan masih banyak yang lain—larut dalam gemerlap tema postmodernitas yang menantang untuk terus diikuti.
Postmodernisme merupakan titik balik modernitas yang memandang realitas sosial sebagai parodi-parodi, demikian dinyatakan Jaques Lacan dalam Membongkar Kenyataan Parodi Realitas Modern (1998). Segala realita sosial selalu dilihat secara terbalik. Ada dekonstruksi sosial sebagai lawan konstruksi sosial yang dipegang teguh rejim mayoritas. Kenyataan ekonomi diparodi dengan permainan jual-beli, kenyataan politik diparodi dengan permainan libidinal, kenyataan sosial yang tabu diparodi dengan massifikasi ruang privat. Tema-tema tersebut diolah dengan gaya bahasa yang liar, nakal, serta penuh imajinasi yang tidak membumi.
Semakin liarnya representasi kreatif penulis dan sastrawan generasi 1990 –2000-an, terpapar dengan jelas dalam Sarasehan Sastrawan Muda yang digelar di Malang, akhir pekan lalu. Dalam sarasehan yang dihadiri para penulis, sastrawan, dosen dan peminat sastra tersebut, terungkap kenyataan bahwa dunia sastra nasional miskin sastra sejarah. Publik sastra telah dimanjakan dengan tema-tema bernuansa postmodernisme yang liar dan menggasak habis ruang tabu.
Kepekaan sejarah ini perlu dihadirkan kembali. Sebab, sejarah pada gilirannya menuntut ‘pendokumentasian’ secara kreatif. Sehingga terhindar dari ‘kekakuan’ sebagai literatur. Terbukti, seandainya Pram tidak menulis Keluarga Gerilya, Cerita dari Blora, Rumah Kaca, maka tragedi G 30 S/PKI tidak akan mendapat tafsir lain yang lebih manusiawi. Juga, seandainya Linus Suryadi AG tidak menulis Pengakuan Pariyem, atau Ahmad Tohari tidak menulis Bekisar Merah, dunia tabu dalam masyarakat Jawa tidak akan mendapat perlawanan.
Atau apabila almarhum YB Mangunwijaya tidak menulis Burung-Burung Manyar atau Ikan Hiu Indo Homa, kentalnya adat di belahan timur Indonesia tidak akan diketahui oleh publik. Berbagai karya sastra tersebut adalah karya kreatif berbasis sejarah. Pembaca dibawa pada satu ruang yang sangat imajinatif, impresif, tapi tetap sadar terhadap akar kesejarahannya. Dengan kata lain, fakta sosial dan sejarah dalam karya sastra memperoleh makna baru yang segar.
Kelangkaan karya sastra berbasis sejarah merupakan indikasi rendahnya ‘daya baca’ penulis atau sastrawan muda kita terhadap fakta sejarah. Mereka lebih tertarik kepada tema-tema spektakuler yang lebih selling. Kenyataan ini menunjukkan orientasi cipta sastra –generasi kekinian—adalah orientasi pasar yang kurang memperhatikan eksplorasi tematik demi ‘penemuan’ warna baru dalam dunia sastra. Proses industrialisasi sastra inilah yang membuat penulis dan sastrawan muda berpikir instan. Artinya, kenapa harus membuat karya dengan pendalaman eksplorasi kreatif yang melelahkan jika ‘asal menulis’ saja telah mendatangkan keuntungan finansial.
Padahal sebuah bangsa atau peradaban sangat membutuhkan ‘cara baca sastra’ untuk mengabadikan dan diwariskan kepada generasi penerusnya. Literatur sastra sejarah akan memiliki ‘usia lebih panjang’ daripada literatur sejarah itu sendiri. Kelangkaan sastra berbasis sejarah ini perlu segera diatasi secara lintas disiplin. Bukan tidak mungkin menyelenggarakan lomba penulisan sastra berlatar sejarah, misalnya tema krisis ekonomi 1998, reformasi, atau konflik-konflik sosial yang tersebar di sejumlah wilayah di Tanah Air. Dengan demikian, peristiwa tersebut akan terpotret dengan ‘bahasa sastra’ yang multiinterpretatif sehingga menjadi literatur yang menyenangkan untuk dibaca.***

Saturday, June 9, 2007

hello...come to may blog

I want to say hello....with all of blogger community....