Oleh: Cucuk Espe*)
Sebagai salah salah satu pilar tegaknya
demokrasi, pers memiliki peran penting dalam pendewasaan proses demokratisasi
sebuah negara. Sejarah membuktikan bahwa kehadiran informasi yang konstruktif
dan positif, telah mampu menggerakkan kesadaran masyarakat lebih sensitif
terhadap lingkungannya (baca; jamannya). Namun seiring perubahan tata nilai
global, peran pers bagai simalakama. Di satu sisi transparansi informasi
dianggap ancaman, sedangkan di sisi lain menjadi tuntutan. Lantas, bagaimana
seharusnya pers modern bersikap?
Pada 9 Februari ini, seluruh insan
pers melakukan refleksi atas jati diri dan kontribusi kehadirannya di tengah
masyarakat. Sebuah pertanyaan besar patut direnungkan; mampukah pers
bersimbiosis dengan iklim modern yang ambigu? Budaya modern tidak mengagungkan
tabu, dimana transparansi menjadi tuntutan siapapun. Dan pers dituntut
memberikan kontribusi positif untuk memenuhi tuntutan tersebut. Sejatinya peran
besar pers modern adalah mengawal tumbuh-kembangnya transparansi informasi
publik.
Namun bukan tanpa halangan! Iklim
modern ternyata berkembang semakin jauh dari ideal. Dan transparansi ibarat dua
mata pedang yang siap menggilas pers itu sendiri. Budaya transparansi informasi
publik yang dikembangkan insan pers harus berhadapan dengan gurita kepentingan
(politis). Pada titik inilah, terkadang pers menghadapi pembungkaman,
pengerdilan, bahkan pembredelan informasi. Padahal seluruh praktik itu
bertentangan dengan Kode Etik dan Undang-undang Pokok Pers.
Apalagi di Indonesia yang semakin korup
ini, kehadiran pers selalu berada di ‘dunia-antara’. Yakni antara dibutuhkan
dan dibenci sehingga banyak pihak –masih—menganggap pers adalah biang
ketidaknyamanan segala praktik korup. Bagi saya, justru dalam situasi seperti
inilah, peran pers benar-benar diuji. Mampukah pers berpihak kepada kebenaran
publik dan tidak terjebak dalam intrik sarat kepentingan politik. Sekali lagi,
pers modern harus mampu menjadi mitra dan mengawal proses pencerdasan publik.
Pers adalah bagian dari masyarakat.
Inilah kata kunci yang patut kita pegang teguh. Pers bukanlah bagian dari
praktik buruk kekuasaan atau segelintir orang. Sebagai bagian dari masyarakat,
pers memang harus setia mendampingi geliat kepentingan masyarakatnya. Pers
modern harus mampu menjadi ‘teman’ masyarakat. Di tengah iklim buruk kekuasaan,
dimana korupsi merajalela, tindak kriminal dimana-mana, pelecehan, dan segala
aksi vandal lainnya terus mewarnai negeri ini, pers selayaknya bertindak tegas
dan proporsional.
Jurnalisme Penyadaran
Saya yakin, di tengah kemerosotan
mentalitas bangsa, masih ada pers yang peka dan siap berjibaku mengawal
kesadaran publik. Pers semacam inilah yang kita butuhkan. Dan pers melalui
aktivitasnya harus memasuki wilayah budaya. Tidak sekedar menjadi penyebar atau
pewarta atas peristiwa tetapi mampu mengajak batin-publik untuk merefleksi
peristiwa tersebut. Bentuk jurnalisme seperti ini, sering saya sebut jurnalisme
penyadaran. Pers modern memang harus mengembangkan jurnalisme penyadaran.
Ketika seluruh orang dapat mengakses
informasi dengan cepat dan mampu memberikan respon dengan cepat pula, maka
peran pers harus bermutasi. Paradigma lama bahwa media massa sekedar mewartakan
telah ketinggalan jaman. Mutasi fungsi yang saya maksud adalah penyesuaian diri
di tengah ‘badai’ informasi dari segala arah. Atas informasi tersebut, pers
modern berperan membuka ruang-refleksi demi menemukan kesadaran dan nilai atas
peristiwa yang terjadi.
Tidak sekedar mengabarkan melainkan
membangun ruang penyadaran adalah inti kerja jurnalisme penyadaran.
Tulisan-tulisan yang agitatif dan provikatif sepatutnya dijauhi dan mulai
menata penyajian yang reflektif. Jujur saja, masyarakat kita sangat membutuhkan
sajian media massa dengan sajian informasi membuka yang mampu ruang batin pembacanya.
Peran kontrol sosial, kini tidak semata-mata didominasi oleh pers. Ada lembaga
swadaya masyarakat (LSM), organisasi massa, dan ragam institusi publik lainnya.
Memang pada awal pertumbuhannya, pers berperan sebagai kontrol sosial. Namun
fungsi itu ‘kurang’ relevan lagi. Dan pers harus menyesuaikan sajiannya agar survive di tengah arus besar globalisasi
(baca; digitalisasi) informasi.
Jurnalisme penyadaran merupakan
fenomena yang mendesak. Ketika masyarakat mampu ‘bebas’ meneguk setiap detail
informasi lintas batas ruang dan waktu, maka ruang refleksi harus diciptakan.
Pers modern harus mengajak publik menjadi lebih dewasa dalam mencerap segala
informasi yang diterimanya. Penyajian angle
peristiwa yang cenderung mengajak pembaca merenung, menurut saya lebih
dibutuhkan.
Oleh karena itu, dalam momentum Hari
Pers, 9 Februari ini, saya ingin mengajak siapapun –pelaku maupun pemerhati
pers—untuk merenung dan melakukan otokritik. Masyarakat yang cerdas adalah
masyarakat yang mampu mengembangkan budaya pencerapan informasi secara
proporsional. Artinya, bukan sensasi yang menjadi tujuan melainkan nilai
substansial atas peristiwa yang terjadi. Disinilah peran pers modern sejatinya
dibutuhkan, yakni mencari nilai dalam setiap pendaran informasi.
Jurnalisme penyadaran, siapkah
kita?***
*) Cucuk Espe, Penulis dan Peneliti pada
Lembaga Baca-Tulis Indonesia (LBTI).
Sumber: Rubrik Horizon, Radar Surabaya, edisi Minggu 16/02/2014. (cha)