Wednesday, July 26, 2017

Pohon-pohon Terus Tumbang



Pagi-pagi, matahari bercahaya muram
Embut di rerumputan berlari diam-diam
Ketika pohon-pohon Tuhan tumbang mencium bumi
Berserakan daun-daun, isyarat bencana anak-cucu nanti
Saat suara gergaji melantunkan tembang kematian
Disana! Si tupai kehilangan beranda
Anak-anak musang kocar-kacir
Dan burung-burung tercerai jatuh terjungkir

Pohon-pohon terus tumbang
Oleh kepongahan jaman, keserakahan kekuasaan

Seandainya saja ranting-ranting itu bicara
Mungkin mereka akan berdoa dalam air mata
Seperti bapak kehilangan anak-anaknya
Seperti ibu kehilangan cinta-kekasihnya
Pohon-pohon itu terus tumbang
Dengar! Riuh gergaji mengiringi kematian masa depan
Anak-anak manusia kelak nanti.

Matahari bergerak pelan. Muram.

                                           25/1/2017

Sunday, February 23, 2014

Pers Modern dan Jurnalisme Penyadaran


Oleh: Cucuk Espe*)

Sebagai salah salah satu pilar tegaknya demokrasi, pers memiliki peran penting dalam pendewasaan proses demokratisasi sebuah negara. Sejarah membuktikan bahwa kehadiran informasi yang konstruktif dan positif, telah mampu menggerakkan kesadaran masyarakat lebih sensitif terhadap lingkungannya (baca; jamannya). Namun seiring perubahan tata nilai global, peran pers bagai simalakama. Di satu sisi transparansi informasi dianggap ancaman, sedangkan di sisi lain menjadi tuntutan. Lantas, bagaimana seharusnya pers modern bersikap?

            Pada 9 Februari ini, seluruh insan pers melakukan refleksi atas jati diri dan kontribusi kehadirannya di tengah masyarakat. Sebuah pertanyaan besar patut direnungkan; mampukah pers bersimbiosis dengan iklim modern yang ambigu? Budaya modern tidak mengagungkan tabu, dimana transparansi menjadi tuntutan siapapun. Dan pers dituntut memberikan kontribusi positif untuk memenuhi tuntutan tersebut. Sejatinya peran besar pers modern adalah mengawal tumbuh-kembangnya transparansi informasi publik.
            Namun bukan tanpa halangan! Iklim modern ternyata berkembang semakin jauh dari ideal. Dan transparansi ibarat dua mata pedang yang siap menggilas pers itu sendiri. Budaya transparansi informasi publik yang dikembangkan insan pers harus berhadapan dengan gurita kepentingan (politis). Pada titik inilah, terkadang pers menghadapi pembungkaman, pengerdilan, bahkan pembredelan informasi. Padahal seluruh praktik itu bertentangan dengan Kode Etik dan Undang-undang Pokok Pers.
            Apalagi di Indonesia yang semakin korup ini, kehadiran pers selalu berada di ‘dunia-antara’. Yakni antara dibutuhkan dan dibenci sehingga banyak pihak –masih—menganggap pers adalah biang ketidaknyamanan segala praktik korup. Bagi saya, justru dalam situasi seperti inilah, peran pers benar-benar diuji. Mampukah pers berpihak kepada kebenaran publik dan tidak terjebak dalam intrik sarat kepentingan politik. Sekali lagi, pers modern harus mampu menjadi mitra dan mengawal proses pencerdasan publik.
            Pers adalah bagian dari masyarakat. Inilah kata kunci yang patut kita pegang teguh. Pers bukanlah bagian dari praktik buruk kekuasaan atau segelintir orang. Sebagai bagian dari masyarakat, pers memang harus setia mendampingi geliat kepentingan masyarakatnya. Pers modern harus mampu menjadi ‘teman’ masyarakat. Di tengah iklim buruk kekuasaan, dimana korupsi merajalela, tindak kriminal dimana-mana, pelecehan, dan segala aksi vandal lainnya terus mewarnai negeri ini, pers selayaknya bertindak tegas dan proporsional.

Jurnalisme Penyadaran
            Saya yakin, di tengah kemerosotan mentalitas bangsa, masih ada pers yang peka dan siap berjibaku mengawal kesadaran publik. Pers semacam inilah yang kita butuhkan. Dan pers melalui aktivitasnya harus memasuki wilayah budaya. Tidak sekedar menjadi penyebar atau pewarta atas peristiwa tetapi mampu mengajak batin-publik untuk merefleksi peristiwa tersebut. Bentuk jurnalisme seperti ini, sering saya sebut jurnalisme penyadaran. Pers modern memang harus mengembangkan jurnalisme penyadaran.
            Ketika seluruh orang dapat mengakses informasi dengan cepat dan mampu memberikan respon dengan cepat pula, maka peran pers harus bermutasi. Paradigma lama bahwa media massa sekedar mewartakan telah ketinggalan jaman. Mutasi fungsi yang saya maksud adalah penyesuaian diri di tengah ‘badai’ informasi dari segala arah. Atas informasi tersebut, pers modern berperan membuka ruang-refleksi demi menemukan kesadaran dan nilai atas peristiwa yang terjadi.
            Tidak sekedar mengabarkan melainkan membangun ruang penyadaran adalah inti kerja jurnalisme penyadaran. Tulisan-tulisan yang agitatif dan provikatif sepatutnya dijauhi dan mulai menata penyajian yang reflektif. Jujur saja, masyarakat kita sangat membutuhkan sajian media massa dengan sajian informasi membuka yang mampu ruang batin pembacanya. Peran kontrol sosial, kini tidak semata-mata didominasi oleh pers. Ada lembaga swadaya masyarakat (LSM), organisasi massa, dan ragam institusi publik lainnya. Memang pada awal pertumbuhannya, pers berperan sebagai kontrol sosial. Namun fungsi itu ‘kurang’ relevan lagi. Dan pers harus menyesuaikan sajiannya agar survive di tengah arus besar globalisasi (baca; digitalisasi) informasi.
            Jurnalisme penyadaran merupakan fenomena yang mendesak. Ketika masyarakat mampu ‘bebas’ meneguk setiap detail informasi lintas batas ruang dan waktu, maka ruang refleksi harus diciptakan. Pers modern harus mengajak publik menjadi lebih dewasa dalam mencerap segala informasi yang diterimanya. Penyajian angle peristiwa yang cenderung mengajak pembaca merenung, menurut saya lebih dibutuhkan.
            Oleh karena itu, dalam momentum Hari Pers, 9 Februari ini, saya ingin mengajak siapapun –pelaku maupun pemerhati pers—untuk merenung dan melakukan otokritik. Masyarakat yang cerdas adalah masyarakat yang mampu mengembangkan budaya pencerapan informasi secara proporsional. Artinya, bukan sensasi yang menjadi tujuan melainkan nilai substansial atas peristiwa yang terjadi. Disinilah peran pers modern sejatinya dibutuhkan, yakni mencari nilai dalam setiap pendaran informasi.
            Jurnalisme penyadaran, siapkah kita?***


 *) Cucuk Espe, Penulis dan Peneliti pada Lembaga Baca-Tulis Indonesia (LBTI).


Sumber: Rubrik Horizon, Radar Surabaya, edisi Minggu 16/02/2014. (cha)

Friday, February 7, 2014

Langkah-langkah Kiri Gus Dur

Oleh: Cucuk Espe*)  

Memahami KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur ibarat menelusuri ‘dunia kecil’. Dimana segala perbedaan mampu disajikan dengan suasana harmonis di dalam dunia tersebut. Dan seringkali langkah harmonisasi menimbulkan kontroversi yang mendulang polemik. Oleh karena itu, meski empat tahun setelah Gus Dur wafat, pernik dunia kecil tersebut tidak selesai diresepsi. Langkah-langkah kiri Gus Dur pun menunjukkan kebenarannya di era kekinian. Gitu aja kok repot!

Saya memberi makna ‘kiri’ dalam konteks gagasan Gus Dur adalah untuk menegaskan bahwa gagasan mantan Presiden RI ke-4 itu sangat unik bahkan berseberangan dengan arus besar. Jika kita cermati lontaran gagasan semasa hidup, tidak jarang langkah Gus Dur membuat bingung dan meradang sejumlah kalangan. Sebuah langkah yang tidak lazim dan bertentangan dengan arus besar atau kelaziman publik. Gus Dur memang nyleneh!

Meski telah empat tahun Gus Dur wafat, rasanya keunikan gagasannya masih hidup hingga saat ini. Di kalangan pesantren di Jombang, Jawa Timur, jargon; ‘Gitu aja kok repot...” semakin akrab di telinga. Tidak hanya milik Pesantren Tebuireng –dimana Gus Dur dimakamkan—tetapi hampir di seluruh pesantren di kota tersebut. Lebih fantastis lagi, ungkapan khas Gus Dur tersebut, kini telah menjadi milik seluruh masyarakat negeri ini, terutama kalangan nahdliyin. Disadari atau tidak, ungkapan tersebut seolah menyatukan batin seluruh umat Islam, sekaligus menunjukkan keakraban dalam suasana egaliter.

Keunikan lainnya, pemberian ruang seluas-luasnya kepada siapapun warga negeri ini untuk mengekspresikan gagasan dan keyakinannya sejauh tidak menyimpang dari norma sosial yang ada. Etnis Tionghoa yang sejak rejim Orde Baru dikebiri sebagian hal sosialnya, oleh Gus Dur diberi ruang yang dilindungi oleh regulasi yang kuat. Hasilnya, masyarakat kita kini lebih berwarna. Indonesia memang mayoritas muslim tetapi harus menjadi muslim yang mampu memberi ruang kepada non-muslim (termasuk Tionghoa dengan kepercayaannya) untuk hidup bersanding. Karena gagasan tersebut, Gus Dur pun diberu gelar ‘Bapak Pluralisme’ dari Indonesia.

Kemajemukan menurut Gus Dur adalah karunia Tuhan Yang Maha Kuasa yang patut dijaga. Dan usaha penyeragaman merupakan tindakan pembunuhan diri secara perlahan. Seorang nasionalis sejati adalah orang yang mampu melihat kemajemukan sebagai kekuatan apabila dikelola dengan harmonis. Gus Dur telah melakukan itu semua dan apresiasi terhadap gagasan itu, sungguh luar biasa.

Romantis Kekirian

Tidak keliru apabila saya menyebut Gus Dur adalah sosok sintesis dari seluruh gagasan besar tokoh dunia. Dengan sangat santun dan menempatkan ‘manusia’ sebagai pribadi yang –harus—utuh, Gus Dur mampu meramu pemikiran humanisme, sosialisme, komunisme, realisme, dalam bingkai ajaran Islam yang sangat –dan sangat—modern. Semua –isme atau gagasan tersebut adalah hasil apresiasi manusia atas jamannya. Sebagai hasil kreasi manusia, tentu tidak terlepas dari kekurangan dan kelebihan. Seiring perkembangan jaman, manusia harus terus melakukan koreksi tanpa menyalahkan gagasan di masa lalu. Proses tersebut dilakukan Gus Dur dengan sangat baik meski gagasan sintetis-nya tidak jarang mengundang kontroversi.

Manusia yang utuh adalah manusia yang memahami diri dan sejarahnya sebagai bekal untuk menata masa depannya. Demikian kurang lebih ‘saripati’ gagasan Gus Dur yang lazim disebut ‘pluralisme’. Kemajemukan harus diterima sebagai konsekwensi kita menjadi warga dunia yang terus berkembang. Pada titik ini, saya menyebut Gus Dur merupakan figur ‘romantis kekirian’. Sikapnya untuk membela kemajemukan seringkali dicap pembela kaum kiri namun dalam usaha pembelaannya tersebut, Gus Dur sangat romantis. Artinya, bukan jalan kekerasan yang digunakan, seperti cacatan kelam di Rusia, China, Afrika yang menelan ribuan korban. Tetapi Gus Dur membawa sintesa kirinya dengan sangat romantis. Dan menurut saya, sikap romantis kekirian inilah cara ‘dewasa’ memahami kemajemukan.

Masih dalam konteks kekirian, rupanya kita perlu mengingat kembali cara Gus Dur dalam menyampaikan gagasan. Kritik dan apresiasi atas suasana sosial-politik yang terjadi semasa hidupnya, disampaikan dengan teknik tidak lazim, yakni guyonan dan sindiran. Gaya jenaka Gus Dur mengisyaratkan kebersahajaan, kesederhanaan, dan jauh dari tendensi apapun. Menjadi manusia apa adanya merupakan inti sejumlah sindiran satir mantan Ketua Dewan Kesenian Jakarta di tahun 70-an itu. Jujur saja, belum ada tokoh besar negeri manapun yang menggunakan gaya jenaka dalam menyampaikan gagasan besarnya.

Respon Gus Dur yang tercermin lewat gaya bicaranya, esainya, maupun buku-bukunya menunjukkan kecerdasan yang muncul dalam fase sintesis. Gus Dur tidak melawan dan berada di posisi anti tesis tetapi mencoba membuat formulasi sintesis yang khas dan mendamaikan umat apapun latar belakang sosial, politik, dan budayanya. Oleh karena itu, hingga sepanjang hayatnya, Gus Dur tetap menjadi sosok yang dirindukan, penuh kontroversi, namun menyejukkan setiap manusia lintas batas agama.

Begitulah Gus Dur apa adanya.

Gitu aja kok repot...!***  

*) Cucuk Espe, Alumnus Universitas Negeri Malang dan Peneliti Lembaga Baca-Tulis Indonesia tinggal di Jombang – Jatim.

(esai ini pernah dimuat Rubrik Horizon - Radar Surabaya, 19/01/2014)

Thursday, March 3, 2011

Untung-rugi: Ada FPI di Sarang Islam


Oleh: Cucuk Suparno

Dipicu oleh peristiwa kekerasan di Serang dan Temanggung, dan terakhir di Pasuruan (Jatim), selama dua pekan lalu, keberadaan organisasi massa (ormas) Islam mendapat sorotan tajam. Apalagi Presiden SBY dengan tegas mengancam akan membubarkan ormas Islam yang anarkis. Seberapa besar nyali pemerintah menghadapi ormas agama mayoritas ini?

Keberadaan Ahmadiyah di Indonesia menjadi pemantik utama kekerasan atas nama agama di negeri ini. Berbekal surat keputusan bersama (SKB) tiga menteri, sejumlah ormas Islam maju menyerang basis pemukinan Ahmadiyah, seperti terjadi di Cikeusik, Serang, Banten. Pemerintah dianggap tidak tegas dan 'setengah hati' menjalani SKB itu, sehingga sejumlah ormas Islam hilang kesabaran.

Namun, terlepas dari persoalan SKB, seperti diamanatkan UUD 1945 bahwa negara menjamin kebebasan seseorang atau kelompok untuk menjalankan peribadatan sesuai dengan agama dan keyakinannya. Dalam konteks ini, jelas pelarangan Ahmadiyah mengingkari amanat konstitusi dasar tersebut. Di sisi lain, jika ada golongan yang melakukan cara-cara anarkis dengan dalih apapun -termasuk agama-maka hukum positif akan menindak sesuai prosedur yang ditentukan.

Diantara silang-sengkarut konflik bernuansa sara itu, muncul nama Front Pembela Islam (FPI) yang memang memiliki track record kurang simpati di mata sebagian masyarakat dan aparatur negara. Tidak hanya terhadap persoalan Ahmadiyah, tetapi mulai aksi anarkis terhadap hiburan malam, sweeping warga asing yang terjadi beberapa waktu silam, membuat ormas ini sering dituding menjadi biang kericuhan. Nah! Begitu Presiden SBY mengancam akan membubarkan ormas Islam yang anarkis, FPI-lah yang menanggapi paling reaktif. Dalam ilmu komunikasi massa, siapapun yang bersikap reaktif terhadap sebuah sikap atau pernyataan pada dasarnya dia terlibat atau ikut serta dalam 'pernyataan itu'.

Artinya, muncul pertanyaan, jika FPI bukan termasuk ormas anarkis, mengapa pimpinan tertingginya dalam sebuah kesempatan justru mengancam balik akan menuntut SBY mundur jika tetap membubarkan ormas Islam? Pernyataan tersebut menunjukkan secara tidak langsung jika FPI adalah ormas anarkis.

Teror Islam
Ahmadiyah, SKB tiga menteri, serta kemerdekaan beragama merupakan pemantik saja, kini persoalan telah bergeser. FPI -yang merasa disebut anarkis-mengajukan tiga tuntutan; pertama bubarkan Ahmadiyah, laksanakan SKB tiga menteri dengan seksama, terakhir turunkan SBY jika tidak mampu menuruti dua tuntutan sebelumnya. Kenyataan ini menunjukkan arogansi dan sikap super reaktif yang semakin menjauhkan rasa simpati publik. Patut diingat, Indonesia adalah negara plural dan menjadikan perbedaan sebagai modal dasar pembangunan.

Menurut saya, kehadiran FPI -dalam konteks ini langsung saya sebut-membuahkan citra lain terhadap Islam di Indonesia. Dimana kesantunan, toleransi, menjunjung perbedaan, dan dakwah dengan semangat kekeluargaan tidak ditemui lagi. Yang ada hanya turun ke jalan, teriak-teriak, melempar batu, merusak pagar sehingga terkesan banal dan liar. Ironisnya, dilakuakan oleh kalangan muslim itu sendiri.

FPI dibentuk memang bertujuan menjaga syariah Islam dan menegakkan perikehidupan umat muslim. Tetapi cara yang dipakai sangat arogan dalam suasana negara yang sangat majemuk. Tidak jarang cara-cara ormas Islam tersebut menimbulkan konflik horizontal yang berkepanjangan. Islam -dipandang dari luar-telah berubah menjadi agama yang beringas, liar, dan penuh teror. Spirit toleransi antar umat beragama, menjunjung tinggi perbedaan telah hilang. Fenomena inilah yang akan menciderai, merusak wibawa Islam itu sendiri. Karena anarkisme sangat tidak kehendaki oleh Rosulullah meskipun dalam rangka amar makruf nahi munkar.

Siapapun yang merasa tertuduh dengan ucapan Presiden SBY itu, selayaknya introspeksi dan mengkaji ulang metode dakwah yang dijalankan. Jangan sampai Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin berubah menjadi rahmatan untuk segelintir umat saja. Padahal tidak semua umat muslim di Indonesia sepakat dengan cara-cara arogan ormas Islam tersebut. Dikaui atau tidak, cara FPI -saya sebut begitu-dinilai sangat provokatif dan meresahkan warga.

Memang kebebasan berserikat dan berkumpul dijunjung tinggi tetapi dalam konteks FPI-Ahmadiyah, Islam seolah hadir dengan wajhr teroris. Publik menilai FPI ada di balik kerusuhan itu, meski pernyataan saya ini perlu dibuktikan kebenarannya. Kesantunan dalam spirit toleransi antar umat beragama menjadi terusik karena kehadiran FPI yang atraktif. Jika Islam terus dikembangkan dengan spirit radikal-anarkis, saya justru khawatir dengan keberadaan Islam itu sendiri sebagai agama yang santun. Jadi, ada FPI di sarang Islam. ***

Sumber: Harian Bhirawa (17/02/2011)

Dunia Tanpa Tuhan


Oleh: Cucuk Espe*)

Menyimak serangkaian peristiwa agama beberapa minggu terakhir, saya pun bertanya; mengapa begitu pragmatis memahami nilai Ketuhanan dalam rangka menciptakan relasi sosial yang damai? Konflik pun muncul karena distorsi penghayatan agama sebagai landasan hidup bermasyarakat. Inilah kenyataan masyarakat kita.

Tidak ada satu agama pun di dunia ini yang mengajarkan kekerasan. Dan tidak ada satu ajaran agama yang menganjurkan menghancurkan siapapun yang berbeda keyakinan –sekalipun keyakinan lain itu dianggap keliru. Kalau pun akhirnya terjadi tragedi –berdarah—sara, adalah bukti jika kita masih primitif dalam pemahaman keagamaan. Karakter dasar kaum primitif adalah menolak dan menghancurkan apapun juga siapapun yang tidak sesuai dengan laku hidup mayoritas. Penghayatan agama secara primitif adalah penghayatan yang picik.

Dalam konteks negeri kita, kekacauan sara muncul akibat piciknya pemahaman pluralisme sebagai ‘kenyataan tak tertolak’ yang mendukung tegaknya bangsa ini. Kemajemukan atau pluralisme merupakan kekayaan kultural yang memiliki nilai keunikan tersendiri. Semestinya kita menghayati pluralisme dan dengan santun melihat perbedaan sebagai kekuatan, apapun perbedaan itu. Ilustrasi paling ekstrim, biarpun kita bertetangga dengan orang tak bertuhan sekalipun, tidak serta-merta kita merajam atau membunuh orang tersebut atas dasar keyakinan kita.

Oleh karena itu, saya hanya tertawa –namun sangat prihatin—melihat serangkaian peristiwa sara di negeri ini. Apalagi institusi agama –kepanjangan tangan pemerintah—ikut campur ‘mengatur benar-salah’ seolah ‘merampok otoritas Tuhan’ dalam menentukan kebenaran sebuah keyakinan. Mengapa kita tidak mampu duduk bersama dengan penuh keikhlasan membicarakan bagaimana setrategi hidup di tengah perbedaan. Dengan demikian situasi saling menghormati akan terjadi. Inilah hakikat pluralisme itu!

Teologi Sosial

Salah satu aspek memahami hadirnya Tuhan adalah kesadaran menerima perbedaan. Karena –dalam keyakinan saya—perbedaan adalah rahmat. Makna perbedaan menyiratkan situasi yang sangat luas bahkan tanpa batas sejauh perbedaan itu kita temukan. Perbedaan dalam konteks apapun harus kita pahami sebagai rahmat agar kita mampu belajar dari perbedaan itu, tujuannya membuat hidup lebih bijak. Sebaliknya jika kita mengganyang perbedaan itu berarti kita sedang tidak belajar bijak. Sebab kebijakan hidup adalah puncak kesadaran menerima perbedaan.

Dalam memahami agama, saya mengajukan dua diskursus yang masing-masing membawa implikasi perilaku berbeda. Pertama, diskursus teologis yang memosisikan Tuhan sebagai kebenaran tunggal dan selayaknya dihayati sebagai keyakinan final. Menghayati kebenaran Tuhan akan lebih baik jika dilakukan ‘di ruang privat’ tanpa harus berteriak-teriak (turun ke jalan, memjebol pagar, merusak sarana ibadah lain) dan melakukan aksi yang mengganggi ketertiban umum. Secara teologis, misi dakwah harus disampaikan dengan memberikan contoh bukan memaksa dengan kata. Kekeliruan pemahaman ini seringkali memunculkan konflik sara.

Kejengkelan atau kemarahan –terhadap ‘spesies keyakinan lain’ tidak harus disampaikan dengan merusak sarana ibadah. Dalam diskursus ini, aspek menahan diri menjadi sesuatu yaang penting karena dengan menahan diri akan muncul kejernihan bertindak. Sayangnya, pemerintah –sebagai decission maker— juga tidak mampu menahan diri dan terseret arus besar pragmatisme hingga mengeluarkan keputusan yang mengganggu jalannya spirit pluralisme.

Kedua, diskursus sosial menyiratkan makna adanya ketenangan, keselarasan, dan keharmonisan tata kehidupan sosial. Agama sebagai spirit privat harus menjadi landasan kesadaran menciptakan suasana damai. Damai dalam menjalankan –apapun—aktivitas setiap individu tanpa takut diganggu. Saya memahami, orang atau masyarakat yang memiliki pemahaman cukup baik terhadap dimensi sosial sebuah agama, tentu tidak akan berbuat anarkis sekalipun terhadap orang yang mengingkari ‘tuhannya’.

Puncak pemahaman makna sosial sebuah agama adalah perilaku santun dalam menyikapi pluralisme. Bahwa ‘sebeda’ apapun toh tetap manusia yang harus diperlakukan secara layak, disapa secara baik, dan dia ajak bicara dengan damai. Agama manapun tentu tidak mengajarkan penggerusan ajaran lain yang berberangan, sekalipun perseberangan itu berupa pengkhianatan teologis. Jadi tidak ada alasan untuk memojokkan dan meminggirkan hanya karena beda pemahaman meski bersumber dari keyakinan teologis yang sama. Jangan sampai dunia ini brutal seolah tanpa Tuhan.

Sumber: Kompasiana (03/03/2011)
*) Penulis dan Budayawan tinggal di Jombang, Jatim