Sunday, February 23, 2014

Pers Modern dan Jurnalisme Penyadaran


Oleh: Cucuk Espe*)

Sebagai salah salah satu pilar tegaknya demokrasi, pers memiliki peran penting dalam pendewasaan proses demokratisasi sebuah negara. Sejarah membuktikan bahwa kehadiran informasi yang konstruktif dan positif, telah mampu menggerakkan kesadaran masyarakat lebih sensitif terhadap lingkungannya (baca; jamannya). Namun seiring perubahan tata nilai global, peran pers bagai simalakama. Di satu sisi transparansi informasi dianggap ancaman, sedangkan di sisi lain menjadi tuntutan. Lantas, bagaimana seharusnya pers modern bersikap?

            Pada 9 Februari ini, seluruh insan pers melakukan refleksi atas jati diri dan kontribusi kehadirannya di tengah masyarakat. Sebuah pertanyaan besar patut direnungkan; mampukah pers bersimbiosis dengan iklim modern yang ambigu? Budaya modern tidak mengagungkan tabu, dimana transparansi menjadi tuntutan siapapun. Dan pers dituntut memberikan kontribusi positif untuk memenuhi tuntutan tersebut. Sejatinya peran besar pers modern adalah mengawal tumbuh-kembangnya transparansi informasi publik.
            Namun bukan tanpa halangan! Iklim modern ternyata berkembang semakin jauh dari ideal. Dan transparansi ibarat dua mata pedang yang siap menggilas pers itu sendiri. Budaya transparansi informasi publik yang dikembangkan insan pers harus berhadapan dengan gurita kepentingan (politis). Pada titik inilah, terkadang pers menghadapi pembungkaman, pengerdilan, bahkan pembredelan informasi. Padahal seluruh praktik itu bertentangan dengan Kode Etik dan Undang-undang Pokok Pers.
            Apalagi di Indonesia yang semakin korup ini, kehadiran pers selalu berada di ‘dunia-antara’. Yakni antara dibutuhkan dan dibenci sehingga banyak pihak –masih—menganggap pers adalah biang ketidaknyamanan segala praktik korup. Bagi saya, justru dalam situasi seperti inilah, peran pers benar-benar diuji. Mampukah pers berpihak kepada kebenaran publik dan tidak terjebak dalam intrik sarat kepentingan politik. Sekali lagi, pers modern harus mampu menjadi mitra dan mengawal proses pencerdasan publik.
            Pers adalah bagian dari masyarakat. Inilah kata kunci yang patut kita pegang teguh. Pers bukanlah bagian dari praktik buruk kekuasaan atau segelintir orang. Sebagai bagian dari masyarakat, pers memang harus setia mendampingi geliat kepentingan masyarakatnya. Pers modern harus mampu menjadi ‘teman’ masyarakat. Di tengah iklim buruk kekuasaan, dimana korupsi merajalela, tindak kriminal dimana-mana, pelecehan, dan segala aksi vandal lainnya terus mewarnai negeri ini, pers selayaknya bertindak tegas dan proporsional.

Jurnalisme Penyadaran
            Saya yakin, di tengah kemerosotan mentalitas bangsa, masih ada pers yang peka dan siap berjibaku mengawal kesadaran publik. Pers semacam inilah yang kita butuhkan. Dan pers melalui aktivitasnya harus memasuki wilayah budaya. Tidak sekedar menjadi penyebar atau pewarta atas peristiwa tetapi mampu mengajak batin-publik untuk merefleksi peristiwa tersebut. Bentuk jurnalisme seperti ini, sering saya sebut jurnalisme penyadaran. Pers modern memang harus mengembangkan jurnalisme penyadaran.
            Ketika seluruh orang dapat mengakses informasi dengan cepat dan mampu memberikan respon dengan cepat pula, maka peran pers harus bermutasi. Paradigma lama bahwa media massa sekedar mewartakan telah ketinggalan jaman. Mutasi fungsi yang saya maksud adalah penyesuaian diri di tengah ‘badai’ informasi dari segala arah. Atas informasi tersebut, pers modern berperan membuka ruang-refleksi demi menemukan kesadaran dan nilai atas peristiwa yang terjadi.
            Tidak sekedar mengabarkan melainkan membangun ruang penyadaran adalah inti kerja jurnalisme penyadaran. Tulisan-tulisan yang agitatif dan provikatif sepatutnya dijauhi dan mulai menata penyajian yang reflektif. Jujur saja, masyarakat kita sangat membutuhkan sajian media massa dengan sajian informasi membuka yang mampu ruang batin pembacanya. Peran kontrol sosial, kini tidak semata-mata didominasi oleh pers. Ada lembaga swadaya masyarakat (LSM), organisasi massa, dan ragam institusi publik lainnya. Memang pada awal pertumbuhannya, pers berperan sebagai kontrol sosial. Namun fungsi itu ‘kurang’ relevan lagi. Dan pers harus menyesuaikan sajiannya agar survive di tengah arus besar globalisasi (baca; digitalisasi) informasi.
            Jurnalisme penyadaran merupakan fenomena yang mendesak. Ketika masyarakat mampu ‘bebas’ meneguk setiap detail informasi lintas batas ruang dan waktu, maka ruang refleksi harus diciptakan. Pers modern harus mengajak publik menjadi lebih dewasa dalam mencerap segala informasi yang diterimanya. Penyajian angle peristiwa yang cenderung mengajak pembaca merenung, menurut saya lebih dibutuhkan.
            Oleh karena itu, dalam momentum Hari Pers, 9 Februari ini, saya ingin mengajak siapapun –pelaku maupun pemerhati pers—untuk merenung dan melakukan otokritik. Masyarakat yang cerdas adalah masyarakat yang mampu mengembangkan budaya pencerapan informasi secara proporsional. Artinya, bukan sensasi yang menjadi tujuan melainkan nilai substansial atas peristiwa yang terjadi. Disinilah peran pers modern sejatinya dibutuhkan, yakni mencari nilai dalam setiap pendaran informasi.
            Jurnalisme penyadaran, siapkah kita?***


 *) Cucuk Espe, Penulis dan Peneliti pada Lembaga Baca-Tulis Indonesia (LBTI).


Sumber: Rubrik Horizon, Radar Surabaya, edisi Minggu 16/02/2014. (cha)

Friday, February 7, 2014

Langkah-langkah Kiri Gus Dur

Oleh: Cucuk Espe*)  

Memahami KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur ibarat menelusuri ‘dunia kecil’. Dimana segala perbedaan mampu disajikan dengan suasana harmonis di dalam dunia tersebut. Dan seringkali langkah harmonisasi menimbulkan kontroversi yang mendulang polemik. Oleh karena itu, meski empat tahun setelah Gus Dur wafat, pernik dunia kecil tersebut tidak selesai diresepsi. Langkah-langkah kiri Gus Dur pun menunjukkan kebenarannya di era kekinian. Gitu aja kok repot!

Saya memberi makna ‘kiri’ dalam konteks gagasan Gus Dur adalah untuk menegaskan bahwa gagasan mantan Presiden RI ke-4 itu sangat unik bahkan berseberangan dengan arus besar. Jika kita cermati lontaran gagasan semasa hidup, tidak jarang langkah Gus Dur membuat bingung dan meradang sejumlah kalangan. Sebuah langkah yang tidak lazim dan bertentangan dengan arus besar atau kelaziman publik. Gus Dur memang nyleneh!

Meski telah empat tahun Gus Dur wafat, rasanya keunikan gagasannya masih hidup hingga saat ini. Di kalangan pesantren di Jombang, Jawa Timur, jargon; ‘Gitu aja kok repot...” semakin akrab di telinga. Tidak hanya milik Pesantren Tebuireng –dimana Gus Dur dimakamkan—tetapi hampir di seluruh pesantren di kota tersebut. Lebih fantastis lagi, ungkapan khas Gus Dur tersebut, kini telah menjadi milik seluruh masyarakat negeri ini, terutama kalangan nahdliyin. Disadari atau tidak, ungkapan tersebut seolah menyatukan batin seluruh umat Islam, sekaligus menunjukkan keakraban dalam suasana egaliter.

Keunikan lainnya, pemberian ruang seluas-luasnya kepada siapapun warga negeri ini untuk mengekspresikan gagasan dan keyakinannya sejauh tidak menyimpang dari norma sosial yang ada. Etnis Tionghoa yang sejak rejim Orde Baru dikebiri sebagian hal sosialnya, oleh Gus Dur diberi ruang yang dilindungi oleh regulasi yang kuat. Hasilnya, masyarakat kita kini lebih berwarna. Indonesia memang mayoritas muslim tetapi harus menjadi muslim yang mampu memberi ruang kepada non-muslim (termasuk Tionghoa dengan kepercayaannya) untuk hidup bersanding. Karena gagasan tersebut, Gus Dur pun diberu gelar ‘Bapak Pluralisme’ dari Indonesia.

Kemajemukan menurut Gus Dur adalah karunia Tuhan Yang Maha Kuasa yang patut dijaga. Dan usaha penyeragaman merupakan tindakan pembunuhan diri secara perlahan. Seorang nasionalis sejati adalah orang yang mampu melihat kemajemukan sebagai kekuatan apabila dikelola dengan harmonis. Gus Dur telah melakukan itu semua dan apresiasi terhadap gagasan itu, sungguh luar biasa.

Romantis Kekirian

Tidak keliru apabila saya menyebut Gus Dur adalah sosok sintesis dari seluruh gagasan besar tokoh dunia. Dengan sangat santun dan menempatkan ‘manusia’ sebagai pribadi yang –harus—utuh, Gus Dur mampu meramu pemikiran humanisme, sosialisme, komunisme, realisme, dalam bingkai ajaran Islam yang sangat –dan sangat—modern. Semua –isme atau gagasan tersebut adalah hasil apresiasi manusia atas jamannya. Sebagai hasil kreasi manusia, tentu tidak terlepas dari kekurangan dan kelebihan. Seiring perkembangan jaman, manusia harus terus melakukan koreksi tanpa menyalahkan gagasan di masa lalu. Proses tersebut dilakukan Gus Dur dengan sangat baik meski gagasan sintetis-nya tidak jarang mengundang kontroversi.

Manusia yang utuh adalah manusia yang memahami diri dan sejarahnya sebagai bekal untuk menata masa depannya. Demikian kurang lebih ‘saripati’ gagasan Gus Dur yang lazim disebut ‘pluralisme’. Kemajemukan harus diterima sebagai konsekwensi kita menjadi warga dunia yang terus berkembang. Pada titik ini, saya menyebut Gus Dur merupakan figur ‘romantis kekirian’. Sikapnya untuk membela kemajemukan seringkali dicap pembela kaum kiri namun dalam usaha pembelaannya tersebut, Gus Dur sangat romantis. Artinya, bukan jalan kekerasan yang digunakan, seperti cacatan kelam di Rusia, China, Afrika yang menelan ribuan korban. Tetapi Gus Dur membawa sintesa kirinya dengan sangat romantis. Dan menurut saya, sikap romantis kekirian inilah cara ‘dewasa’ memahami kemajemukan.

Masih dalam konteks kekirian, rupanya kita perlu mengingat kembali cara Gus Dur dalam menyampaikan gagasan. Kritik dan apresiasi atas suasana sosial-politik yang terjadi semasa hidupnya, disampaikan dengan teknik tidak lazim, yakni guyonan dan sindiran. Gaya jenaka Gus Dur mengisyaratkan kebersahajaan, kesederhanaan, dan jauh dari tendensi apapun. Menjadi manusia apa adanya merupakan inti sejumlah sindiran satir mantan Ketua Dewan Kesenian Jakarta di tahun 70-an itu. Jujur saja, belum ada tokoh besar negeri manapun yang menggunakan gaya jenaka dalam menyampaikan gagasan besarnya.

Respon Gus Dur yang tercermin lewat gaya bicaranya, esainya, maupun buku-bukunya menunjukkan kecerdasan yang muncul dalam fase sintesis. Gus Dur tidak melawan dan berada di posisi anti tesis tetapi mencoba membuat formulasi sintesis yang khas dan mendamaikan umat apapun latar belakang sosial, politik, dan budayanya. Oleh karena itu, hingga sepanjang hayatnya, Gus Dur tetap menjadi sosok yang dirindukan, penuh kontroversi, namun menyejukkan setiap manusia lintas batas agama.

Begitulah Gus Dur apa adanya.

Gitu aja kok repot...!***  

*) Cucuk Espe, Alumnus Universitas Negeri Malang dan Peneliti Lembaga Baca-Tulis Indonesia tinggal di Jombang – Jatim.

(esai ini pernah dimuat Rubrik Horizon - Radar Surabaya, 19/01/2014)