Friday, February 18, 2011

KOMUNISASI INDONESIA


Oleh: Cucuk Espe*)

Komunisme telah usang, menjadi barang mati dan menghuni lorong kumal sejarah bangsa ini. Dalam konteks sejarah sosial-politik bangsa ini, komunisme menjadi monster menakutkan yang mengundang phobi. Negara pun mengharamkan lahir dan berkembangnya komunisme paska tragedi 1965. Namun kenyataannya –saat ini—justru komunisme bermetamorfosis menjadi komunisasi. Nah! Bagaimana itu terjadi?

Komunisme pernah melukai sejarah bangsa ini, luka yang menimbulkan tragedi nasional dalam konteks ‘perang kepentingan’ raksasa di era Orde Lama. Perang tersebut menimbulkan phobia yang hebat hingga segala atribut, ikon, atau apapun yang ‘dekat’ dengan paham komunis diberangus. Dalam esai ini, saya tidak ingin membicarakan laku-biadap kaum komunis di era itu. Fokus diskusi esai ini adalah spirit laku-biadap itu yang saat ini kembali mengemuka dalam bingkai yang lebih modern. Inilah yang saya sebut komunisasi.

Disadari atau tidak, praktek komunisasi saat ini telah merasuk ke hampir seluruh aspek kehidupan bangsa ini. Melalui bingkai kebebasan demokratis, atas nama hak asasi manusia, pemurnian ajaran atau keyakinan tertentu, komunisasi telah menancapkan akarnya. Makna komunisasi adalah proses ‘seperti’ cara-cara komunis yang dilakukan dalam menyikapi serangkaian fenomena modernisasi.

Sekali lagi, dalam membicarakan ‘cara komunis’. Saya tidak ingin terjebak kepada ide dasar komunis yang dirumuskan Karl Marx atau esensi komunis seperti ditulis Maxim Gorky. Tetapi –dengan analogi sederhana—makna ‘cara komunis’ adalah cara-cara yang dilakukan kaum komunis di akhir era Orde Lama. Betapa kasar, licik, penuh muslihat, dan menggunakan agama sebagai alat mencapai kepentingan yang profan. Jujur saja, cara-cara tersebut yang kini marak berkembang di tengah masyarakat kita.

Sekedar contoh, di bidang ekonomi, tingginya pengangguran, mahalnya sembako, hingga matinya hak-hak kaum petani merupakan ciri utama gerakan komunis dalam rangka ‘menggayang’ rakyatnya sendiri yang tidak sepaham. Macetnya link and macth di lingkungan pendidikan membuahkan kerumitan dan ketidakberdayaan publik di hadapan pendidikan sehingga kaum pengangguran turun ke jalan menuntut jaminan hak hidup sesuai amanat UUD 1945. Celakanya –dan banyak terjadi—jika kaum penganggur tersebut akhirnya berlaku kriminal. Inilah salah kita!

Contoh lain, di wilayah politik, semakin bertambahnya petualang politik yang berjuang demi kedudukan dan partai politik mengingatkan kita kepada situasi di era Orde Lama akhir. Ketika itu, Dipo Nusantara Aidit atau DN Aidit melalui gerakan Manipol Usdek-nya yang seolah-olah membela rakyat, ternyata menyimpan kepentingan besar, yakni kemenangan komunis itu sendiri. PKI harus menguasai Indonesia dari segala lini. Implikasinya, praktik korupsi, kolusi, nepotisme menjadi laku-utama kaum komunis kala itu. Fenomena itu terjadi sekarang!

Di bidang kehidupan beragama, justru terjadi lebih ngeri lagi. Agama kini menjadi komoditi dunia modern dan kehilangan nilai kesakralannya. Jujur saja, saya sebut agama mayoritas di negeri ini, Islam yang kini menjadi komoditi segala perangkat modernitas. Islam menjadi komoditi politik dan laku sosial-profan penganut agama itu sendiri. Ambil contoh, masuknya Islam di ranah politik mengingatkan kita dengan tiga simbiosis; Nasakom (nasional-agama-komunis). Agama menjadi ‘atribut’ politik yang memiliki nilai jual tinggi sehingga agama (baca; Islam) di era kekinian ‘bisa menjadi’ partai politik.

Tidak hanya itu, krisis akibat hilangnya esensi fungsi agama telah menggiring kepada anarkisme atas nama agama. Menurut saya, apapun alasannya jika atribut bersorban, meneriakkan takbir lantas turun ke jalan, melempar dan merusak fasilitas publik (baca; tempat ibadah) adalah laku-komunis yang vandal dan jauh dari spirit toleransi yang mengedepankan musyawarah. Dalam konteks ini, agama menjadi sangat brutal menjadi ciri utama hadirnya watak komunis dalam kehidupan agama masyarakat modern.

Nah! Pada milenium supermodern ini, laku komunis –lepas dari wacana lahirnya gagasan itu—menjadi nyata dan terjadi hampir setiap hari. Jika kita simak peristiwa yang muncul setiap hari, laku picik, anti-toleransi, korupsi, brutal atas nama agama terjadi tanpa henti. Ini bukti nyata jika telah terjadi komunisasi masyarakat Indonesia modern. Perlu kiranya dilakukan kaji-strategi baru untuk membangun mental dan karakter bangsa yang santun dan jauh dari karakter vandalis. Kalau tidak, selamat datang komunisasi! (*)


Penulis: Budayawan dan Humas Lembaga Baca Tulis Indonesia

Sumber: Kabar Indonesia

1 comment:

Esa Wibo said...

saya kira masih terlalu mentah untuk menyebut hal-hal buruk semacam anarkisme, tipu muslihat dan vandalisme yang akhir-akhir ini terjadi adalah cara komunis. hasilnya, saya jadi memandang bahwa penyamaan komunis itu dengan hina. bukankah ini cara-cara masa lalu guna menumpas komunis itu sendiri, dengan cara labelisasi. menurut saya tanpa dikaitkan dengan komunis, anarkisme, tipu muslihat dan vandalisme, KKN dll itu memang buruk, tidak manusiawi. jadi tidak perlu dilabeli komunis, untuk sekedar menunjukkan citra buruk, cukup diludahi saja.