Thursday, February 17, 2011

Korupsi, ke Indonesia Saja!


Oleh: Cucuk Espe, Budayawan tinggal di Jombang, Jatim

Korupsi di Indonesia semakin merajalela. Semakin diberantas, pertumbuhannya semakin pesat. Bahkan survey Indonesia Corruption Wacth (ICW) semester pertama 2010, Indonesia menduduki sepuluh besar negeri terkorup di Asia. Nah! Adakah yang salah dalam mengelola negeri ini? Marilah kita merenung.

Diakui atau tidak, pertumbuhan indeks korupsi di Indonesia berjalan seiring dengan kegetolan pemerintah dalam memberantas penyakit masyarakat tersebut. Boleh dikatakan, Indonesia merupakan surga bagi para koruptor. Bisa dibayangkan, koruptor yang telah menjarah triliunan uang rakyat, dengan enak melenggang ke penjara cuma beberapa tahun. Memperoleh remisi dan bebas. Tidak hanya itu, tak jarang ‘mantan koruptor’ ini mendadak menjadi pemimpin di suatu wilayah tertentu. Cukup banyak terjadi di negeri ini!

Implikasinya, tidak salah jika semakin banyak koruptor lahir dan bercokol di negeri ini. Sekedar contoh, mulai Edy Tansil –yang hingga kini raib--, hingga Anggodo dan Gayus Tambunan. Belum lagi, para koruptor yang berasal dari daerah kabupaten atau kota, tentu ratusan jumlahnya. Apa sanksi bagi mereka? Sekedar penjara yang dilengkapi fasilitas mewah. Maka tidak salah jika saya katakan ada uang maka penjara pun nyaman.

Negeri ini memang salah urus. Monarki Orde Baru –saya sebut begitu—menggunakan model demokrasi semu. Artinya, sistem pemerintahan ditata seolah demokratis padahal monopoli, kekuasaan di tangah penguasa, lahirnya pemimpin-pemimpin ‘boneka’ menjadi agen legal untuk melanggengkan pemerintah penguasa. Korupsi, ketika itu, berjalan sistemik sehingga dampaknya tidak terasa. Baru setelah utang negara menumpuk, rakyat merasa jika pembangunan atau keberhasilan yang dicapai hanyalah seremonial politis yang semu. Nyatanya? Rakyat tidak diajak untuk mandiri tetapi di-desain semakin terganntung kepada penguasa.

Puncaknya, terjadi di era Reformasi. Melihat euforia reformasi –dimulai 1998--, lahir petualang-petualang baru yang memanfaatkan situasi untuk tampil ke permukaan. Tampil tidak membawa perubahan melainkan ingin menangguk keuntungan pribadi dengan cara yang korup. Siapa lagi yang salah?

Mental Korup
Indonesia tidak lebih baik –dalam hal mengelola sumbardaya aparatur negara—ketimbang Myanmar, Thailand, bahkan Cina (data dirilis UNDP, 2010). Artinya, dalam hal menata aparatur negara, Indonesia menduduki peringkat buruk. Indikatornya adalah adanya perilaku korup yang ditunjukkan petinggi negeri ini. Tak terkecuali anggota DPR pusat maupun daerah, bertindak korup seor\lah telah menjadi bagian hidup.

Korupsi, menurut saya, tidak hanya bisa diberantas dengan regulasi politis yang terjabar dalam komisi-komisi. Memang secara parsial bisa mengendalikan laju berperilaku korup para aparatur negeri. Yang lebih penting adalah membuat formulasi regulasi kultural yang mampu menekan perilaku korup. Sebab korupsi di negeri kini telah menjadi part of life atau bagian hidup. Karena menjadi bagian hidup, otomatis korupsi adalah budaya di negeri ini. Sehingga penanggulangannya selayaknya juga menggunakan setrategi budaya.

Mental korup adalah bagian cara berpikir dan bertindak –hampir seluruh—apatur negeri ini. Ambil contoh sederhana, mulai tingkat desa hingga pemerintahan pusat korupsi terjadi secara proporsional dan sistemik. Semisal pembuatan kartu penduduk (KTP), tidak ada aturan yang menyebutkan setiap tanda tangan berkas (mulai desa, kecamatan, hingga kepolisian) selalu minta uang amplop. Alasan untuk administrasi padahal hal itu menyalahi aturan yang ada.

Ini adalah bukti, jika aksi korupsi telah mewabah hingga tingkat satuan masyarakat terkecil. Modusnya beragam dengan nilai korupsi sebanding dengan wilayahnya. Ada jargon; jika masyarakat mau menyuap atau korupsi, kenapa tidak disambut baik? Aparatur pemerintah yang semestinya menjadi panutan, justru berlaku korup. Jadi pelaku korup tidak hanya dimonopoli pejabat di tingkat pusat. Justru korupsi tumbuh subur di tingkat kabupaten atau kota. Korupsi telah menjadi bagiann integral pengelolaan negeri ini.

Lebih memprihatinkan lagi, aksi korupsi saat ini telah melebarkan sayap ke beberapa wilayah vital dalam sebuah pemerintahan daerah. Sebut saja, kalangan pendidikan, kesehatan, hingga industri pariwisata. Berbagai proyek atau program terkait pemberdayaan masyarakat –bisa dipastikan—dilingkupi suasana praktek korupsi. Jadi, tidak alah jika saya sebut kita ini memang bermental korup.

Korupsi memang menjadi problem budaya yang sangat susah mengatasinya. Regulasi ‘wajar’ tidak cukup memberangus tindak korup warga negeri ini. Belajar dari Cina, koruptor di hukum mati bahkan seluruh keluarganya diberi sanksi sosial ternyata memberikan efek jera yang luar biasa. Dan Cina berhasil menekan indeks korupsinya. Hal yang sama terjadi di Myanmar, Thaliland, Brunai Darusalam, dan beberapa negara di Asia lainnya. Lantas Indonesia?

Harus ada sanksi sosial (baca; moral) bagi pelaku korupsi. Sebab penjara saja tidak cukup membuat efek jera. Sanksi moral bisa berupa penghapusan hak-hak tertentu sebagai warga negara, serta model ‘penjeraan’ secara sosial lebih efektif menggayangn koruptor. Ironisnya, aksi pengganyangan koruptor ini tidak dilakukan secara simultan. Mungkin karena pemerintah tidak cukup memiliki nyali untuk memberantas korupsi hinga ke akar persoalan.

Mental korup harus dihadapi dengan setrategi budaya yang menjunjung tinggi moralitas. Karena korupsi adalah persoalan mental maka terapi secara mental pula harus dilakukan. Misalnya, garapan bersama melawan korupsi yang diawasi secara ketat oleh aparat berwenang. Pengawasan ini dilakukan mulai tingkat terrendah hingga tingkat pusat. Jika tidak, aksi korup semakin menggila karena tidak ada regulasi yang mengatur.

Indonesia pun menjadi surga kaum koruptor!***

No comments: