Thursday, March 3, 2011

Untung-rugi: Ada FPI di Sarang Islam


Oleh: Cucuk Suparno

Dipicu oleh peristiwa kekerasan di Serang dan Temanggung, dan terakhir di Pasuruan (Jatim), selama dua pekan lalu, keberadaan organisasi massa (ormas) Islam mendapat sorotan tajam. Apalagi Presiden SBY dengan tegas mengancam akan membubarkan ormas Islam yang anarkis. Seberapa besar nyali pemerintah menghadapi ormas agama mayoritas ini?

Keberadaan Ahmadiyah di Indonesia menjadi pemantik utama kekerasan atas nama agama di negeri ini. Berbekal surat keputusan bersama (SKB) tiga menteri, sejumlah ormas Islam maju menyerang basis pemukinan Ahmadiyah, seperti terjadi di Cikeusik, Serang, Banten. Pemerintah dianggap tidak tegas dan 'setengah hati' menjalani SKB itu, sehingga sejumlah ormas Islam hilang kesabaran.

Namun, terlepas dari persoalan SKB, seperti diamanatkan UUD 1945 bahwa negara menjamin kebebasan seseorang atau kelompok untuk menjalankan peribadatan sesuai dengan agama dan keyakinannya. Dalam konteks ini, jelas pelarangan Ahmadiyah mengingkari amanat konstitusi dasar tersebut. Di sisi lain, jika ada golongan yang melakukan cara-cara anarkis dengan dalih apapun -termasuk agama-maka hukum positif akan menindak sesuai prosedur yang ditentukan.

Diantara silang-sengkarut konflik bernuansa sara itu, muncul nama Front Pembela Islam (FPI) yang memang memiliki track record kurang simpati di mata sebagian masyarakat dan aparatur negara. Tidak hanya terhadap persoalan Ahmadiyah, tetapi mulai aksi anarkis terhadap hiburan malam, sweeping warga asing yang terjadi beberapa waktu silam, membuat ormas ini sering dituding menjadi biang kericuhan. Nah! Begitu Presiden SBY mengancam akan membubarkan ormas Islam yang anarkis, FPI-lah yang menanggapi paling reaktif. Dalam ilmu komunikasi massa, siapapun yang bersikap reaktif terhadap sebuah sikap atau pernyataan pada dasarnya dia terlibat atau ikut serta dalam 'pernyataan itu'.

Artinya, muncul pertanyaan, jika FPI bukan termasuk ormas anarkis, mengapa pimpinan tertingginya dalam sebuah kesempatan justru mengancam balik akan menuntut SBY mundur jika tetap membubarkan ormas Islam? Pernyataan tersebut menunjukkan secara tidak langsung jika FPI adalah ormas anarkis.

Teror Islam
Ahmadiyah, SKB tiga menteri, serta kemerdekaan beragama merupakan pemantik saja, kini persoalan telah bergeser. FPI -yang merasa disebut anarkis-mengajukan tiga tuntutan; pertama bubarkan Ahmadiyah, laksanakan SKB tiga menteri dengan seksama, terakhir turunkan SBY jika tidak mampu menuruti dua tuntutan sebelumnya. Kenyataan ini menunjukkan arogansi dan sikap super reaktif yang semakin menjauhkan rasa simpati publik. Patut diingat, Indonesia adalah negara plural dan menjadikan perbedaan sebagai modal dasar pembangunan.

Menurut saya, kehadiran FPI -dalam konteks ini langsung saya sebut-membuahkan citra lain terhadap Islam di Indonesia. Dimana kesantunan, toleransi, menjunjung perbedaan, dan dakwah dengan semangat kekeluargaan tidak ditemui lagi. Yang ada hanya turun ke jalan, teriak-teriak, melempar batu, merusak pagar sehingga terkesan banal dan liar. Ironisnya, dilakuakan oleh kalangan muslim itu sendiri.

FPI dibentuk memang bertujuan menjaga syariah Islam dan menegakkan perikehidupan umat muslim. Tetapi cara yang dipakai sangat arogan dalam suasana negara yang sangat majemuk. Tidak jarang cara-cara ormas Islam tersebut menimbulkan konflik horizontal yang berkepanjangan. Islam -dipandang dari luar-telah berubah menjadi agama yang beringas, liar, dan penuh teror. Spirit toleransi antar umat beragama, menjunjung tinggi perbedaan telah hilang. Fenomena inilah yang akan menciderai, merusak wibawa Islam itu sendiri. Karena anarkisme sangat tidak kehendaki oleh Rosulullah meskipun dalam rangka amar makruf nahi munkar.

Siapapun yang merasa tertuduh dengan ucapan Presiden SBY itu, selayaknya introspeksi dan mengkaji ulang metode dakwah yang dijalankan. Jangan sampai Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin berubah menjadi rahmatan untuk segelintir umat saja. Padahal tidak semua umat muslim di Indonesia sepakat dengan cara-cara arogan ormas Islam tersebut. Dikaui atau tidak, cara FPI -saya sebut begitu-dinilai sangat provokatif dan meresahkan warga.

Memang kebebasan berserikat dan berkumpul dijunjung tinggi tetapi dalam konteks FPI-Ahmadiyah, Islam seolah hadir dengan wajhr teroris. Publik menilai FPI ada di balik kerusuhan itu, meski pernyataan saya ini perlu dibuktikan kebenarannya. Kesantunan dalam spirit toleransi antar umat beragama menjadi terusik karena kehadiran FPI yang atraktif. Jika Islam terus dikembangkan dengan spirit radikal-anarkis, saya justru khawatir dengan keberadaan Islam itu sendiri sebagai agama yang santun. Jadi, ada FPI di sarang Islam. ***

Sumber: Harian Bhirawa (17/02/2011)

Dunia Tanpa Tuhan


Oleh: Cucuk Espe*)

Menyimak serangkaian peristiwa agama beberapa minggu terakhir, saya pun bertanya; mengapa begitu pragmatis memahami nilai Ketuhanan dalam rangka menciptakan relasi sosial yang damai? Konflik pun muncul karena distorsi penghayatan agama sebagai landasan hidup bermasyarakat. Inilah kenyataan masyarakat kita.

Tidak ada satu agama pun di dunia ini yang mengajarkan kekerasan. Dan tidak ada satu ajaran agama yang menganjurkan menghancurkan siapapun yang berbeda keyakinan –sekalipun keyakinan lain itu dianggap keliru. Kalau pun akhirnya terjadi tragedi –berdarah—sara, adalah bukti jika kita masih primitif dalam pemahaman keagamaan. Karakter dasar kaum primitif adalah menolak dan menghancurkan apapun juga siapapun yang tidak sesuai dengan laku hidup mayoritas. Penghayatan agama secara primitif adalah penghayatan yang picik.

Dalam konteks negeri kita, kekacauan sara muncul akibat piciknya pemahaman pluralisme sebagai ‘kenyataan tak tertolak’ yang mendukung tegaknya bangsa ini. Kemajemukan atau pluralisme merupakan kekayaan kultural yang memiliki nilai keunikan tersendiri. Semestinya kita menghayati pluralisme dan dengan santun melihat perbedaan sebagai kekuatan, apapun perbedaan itu. Ilustrasi paling ekstrim, biarpun kita bertetangga dengan orang tak bertuhan sekalipun, tidak serta-merta kita merajam atau membunuh orang tersebut atas dasar keyakinan kita.

Oleh karena itu, saya hanya tertawa –namun sangat prihatin—melihat serangkaian peristiwa sara di negeri ini. Apalagi institusi agama –kepanjangan tangan pemerintah—ikut campur ‘mengatur benar-salah’ seolah ‘merampok otoritas Tuhan’ dalam menentukan kebenaran sebuah keyakinan. Mengapa kita tidak mampu duduk bersama dengan penuh keikhlasan membicarakan bagaimana setrategi hidup di tengah perbedaan. Dengan demikian situasi saling menghormati akan terjadi. Inilah hakikat pluralisme itu!

Teologi Sosial

Salah satu aspek memahami hadirnya Tuhan adalah kesadaran menerima perbedaan. Karena –dalam keyakinan saya—perbedaan adalah rahmat. Makna perbedaan menyiratkan situasi yang sangat luas bahkan tanpa batas sejauh perbedaan itu kita temukan. Perbedaan dalam konteks apapun harus kita pahami sebagai rahmat agar kita mampu belajar dari perbedaan itu, tujuannya membuat hidup lebih bijak. Sebaliknya jika kita mengganyang perbedaan itu berarti kita sedang tidak belajar bijak. Sebab kebijakan hidup adalah puncak kesadaran menerima perbedaan.

Dalam memahami agama, saya mengajukan dua diskursus yang masing-masing membawa implikasi perilaku berbeda. Pertama, diskursus teologis yang memosisikan Tuhan sebagai kebenaran tunggal dan selayaknya dihayati sebagai keyakinan final. Menghayati kebenaran Tuhan akan lebih baik jika dilakukan ‘di ruang privat’ tanpa harus berteriak-teriak (turun ke jalan, memjebol pagar, merusak sarana ibadah lain) dan melakukan aksi yang mengganggi ketertiban umum. Secara teologis, misi dakwah harus disampaikan dengan memberikan contoh bukan memaksa dengan kata. Kekeliruan pemahaman ini seringkali memunculkan konflik sara.

Kejengkelan atau kemarahan –terhadap ‘spesies keyakinan lain’ tidak harus disampaikan dengan merusak sarana ibadah. Dalam diskursus ini, aspek menahan diri menjadi sesuatu yaang penting karena dengan menahan diri akan muncul kejernihan bertindak. Sayangnya, pemerintah –sebagai decission maker— juga tidak mampu menahan diri dan terseret arus besar pragmatisme hingga mengeluarkan keputusan yang mengganggu jalannya spirit pluralisme.

Kedua, diskursus sosial menyiratkan makna adanya ketenangan, keselarasan, dan keharmonisan tata kehidupan sosial. Agama sebagai spirit privat harus menjadi landasan kesadaran menciptakan suasana damai. Damai dalam menjalankan –apapun—aktivitas setiap individu tanpa takut diganggu. Saya memahami, orang atau masyarakat yang memiliki pemahaman cukup baik terhadap dimensi sosial sebuah agama, tentu tidak akan berbuat anarkis sekalipun terhadap orang yang mengingkari ‘tuhannya’.

Puncak pemahaman makna sosial sebuah agama adalah perilaku santun dalam menyikapi pluralisme. Bahwa ‘sebeda’ apapun toh tetap manusia yang harus diperlakukan secara layak, disapa secara baik, dan dia ajak bicara dengan damai. Agama manapun tentu tidak mengajarkan penggerusan ajaran lain yang berberangan, sekalipun perseberangan itu berupa pengkhianatan teologis. Jadi tidak ada alasan untuk memojokkan dan meminggirkan hanya karena beda pemahaman meski bersumber dari keyakinan teologis yang sama. Jangan sampai dunia ini brutal seolah tanpa Tuhan.

Sumber: Kompasiana (03/03/2011)
*) Penulis dan Budayawan tinggal di Jombang, Jatim