Thursday, March 3, 2011

Dunia Tanpa Tuhan


Oleh: Cucuk Espe*)

Menyimak serangkaian peristiwa agama beberapa minggu terakhir, saya pun bertanya; mengapa begitu pragmatis memahami nilai Ketuhanan dalam rangka menciptakan relasi sosial yang damai? Konflik pun muncul karena distorsi penghayatan agama sebagai landasan hidup bermasyarakat. Inilah kenyataan masyarakat kita.

Tidak ada satu agama pun di dunia ini yang mengajarkan kekerasan. Dan tidak ada satu ajaran agama yang menganjurkan menghancurkan siapapun yang berbeda keyakinan –sekalipun keyakinan lain itu dianggap keliru. Kalau pun akhirnya terjadi tragedi –berdarah—sara, adalah bukti jika kita masih primitif dalam pemahaman keagamaan. Karakter dasar kaum primitif adalah menolak dan menghancurkan apapun juga siapapun yang tidak sesuai dengan laku hidup mayoritas. Penghayatan agama secara primitif adalah penghayatan yang picik.

Dalam konteks negeri kita, kekacauan sara muncul akibat piciknya pemahaman pluralisme sebagai ‘kenyataan tak tertolak’ yang mendukung tegaknya bangsa ini. Kemajemukan atau pluralisme merupakan kekayaan kultural yang memiliki nilai keunikan tersendiri. Semestinya kita menghayati pluralisme dan dengan santun melihat perbedaan sebagai kekuatan, apapun perbedaan itu. Ilustrasi paling ekstrim, biarpun kita bertetangga dengan orang tak bertuhan sekalipun, tidak serta-merta kita merajam atau membunuh orang tersebut atas dasar keyakinan kita.

Oleh karena itu, saya hanya tertawa –namun sangat prihatin—melihat serangkaian peristiwa sara di negeri ini. Apalagi institusi agama –kepanjangan tangan pemerintah—ikut campur ‘mengatur benar-salah’ seolah ‘merampok otoritas Tuhan’ dalam menentukan kebenaran sebuah keyakinan. Mengapa kita tidak mampu duduk bersama dengan penuh keikhlasan membicarakan bagaimana setrategi hidup di tengah perbedaan. Dengan demikian situasi saling menghormati akan terjadi. Inilah hakikat pluralisme itu!

Teologi Sosial

Salah satu aspek memahami hadirnya Tuhan adalah kesadaran menerima perbedaan. Karena –dalam keyakinan saya—perbedaan adalah rahmat. Makna perbedaan menyiratkan situasi yang sangat luas bahkan tanpa batas sejauh perbedaan itu kita temukan. Perbedaan dalam konteks apapun harus kita pahami sebagai rahmat agar kita mampu belajar dari perbedaan itu, tujuannya membuat hidup lebih bijak. Sebaliknya jika kita mengganyang perbedaan itu berarti kita sedang tidak belajar bijak. Sebab kebijakan hidup adalah puncak kesadaran menerima perbedaan.

Dalam memahami agama, saya mengajukan dua diskursus yang masing-masing membawa implikasi perilaku berbeda. Pertama, diskursus teologis yang memosisikan Tuhan sebagai kebenaran tunggal dan selayaknya dihayati sebagai keyakinan final. Menghayati kebenaran Tuhan akan lebih baik jika dilakukan ‘di ruang privat’ tanpa harus berteriak-teriak (turun ke jalan, memjebol pagar, merusak sarana ibadah lain) dan melakukan aksi yang mengganggi ketertiban umum. Secara teologis, misi dakwah harus disampaikan dengan memberikan contoh bukan memaksa dengan kata. Kekeliruan pemahaman ini seringkali memunculkan konflik sara.

Kejengkelan atau kemarahan –terhadap ‘spesies keyakinan lain’ tidak harus disampaikan dengan merusak sarana ibadah. Dalam diskursus ini, aspek menahan diri menjadi sesuatu yaang penting karena dengan menahan diri akan muncul kejernihan bertindak. Sayangnya, pemerintah –sebagai decission maker— juga tidak mampu menahan diri dan terseret arus besar pragmatisme hingga mengeluarkan keputusan yang mengganggu jalannya spirit pluralisme.

Kedua, diskursus sosial menyiratkan makna adanya ketenangan, keselarasan, dan keharmonisan tata kehidupan sosial. Agama sebagai spirit privat harus menjadi landasan kesadaran menciptakan suasana damai. Damai dalam menjalankan –apapun—aktivitas setiap individu tanpa takut diganggu. Saya memahami, orang atau masyarakat yang memiliki pemahaman cukup baik terhadap dimensi sosial sebuah agama, tentu tidak akan berbuat anarkis sekalipun terhadap orang yang mengingkari ‘tuhannya’.

Puncak pemahaman makna sosial sebuah agama adalah perilaku santun dalam menyikapi pluralisme. Bahwa ‘sebeda’ apapun toh tetap manusia yang harus diperlakukan secara layak, disapa secara baik, dan dia ajak bicara dengan damai. Agama manapun tentu tidak mengajarkan penggerusan ajaran lain yang berberangan, sekalipun perseberangan itu berupa pengkhianatan teologis. Jadi tidak ada alasan untuk memojokkan dan meminggirkan hanya karena beda pemahaman meski bersumber dari keyakinan teologis yang sama. Jangan sampai dunia ini brutal seolah tanpa Tuhan.

Sumber: Kompasiana (03/03/2011)
*) Penulis dan Budayawan tinggal di Jombang, Jatim

No comments: