Friday, February 7, 2014

Langkah-langkah Kiri Gus Dur

Oleh: Cucuk Espe*)  

Memahami KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur ibarat menelusuri ‘dunia kecil’. Dimana segala perbedaan mampu disajikan dengan suasana harmonis di dalam dunia tersebut. Dan seringkali langkah harmonisasi menimbulkan kontroversi yang mendulang polemik. Oleh karena itu, meski empat tahun setelah Gus Dur wafat, pernik dunia kecil tersebut tidak selesai diresepsi. Langkah-langkah kiri Gus Dur pun menunjukkan kebenarannya di era kekinian. Gitu aja kok repot!

Saya memberi makna ‘kiri’ dalam konteks gagasan Gus Dur adalah untuk menegaskan bahwa gagasan mantan Presiden RI ke-4 itu sangat unik bahkan berseberangan dengan arus besar. Jika kita cermati lontaran gagasan semasa hidup, tidak jarang langkah Gus Dur membuat bingung dan meradang sejumlah kalangan. Sebuah langkah yang tidak lazim dan bertentangan dengan arus besar atau kelaziman publik. Gus Dur memang nyleneh!

Meski telah empat tahun Gus Dur wafat, rasanya keunikan gagasannya masih hidup hingga saat ini. Di kalangan pesantren di Jombang, Jawa Timur, jargon; ‘Gitu aja kok repot...” semakin akrab di telinga. Tidak hanya milik Pesantren Tebuireng –dimana Gus Dur dimakamkan—tetapi hampir di seluruh pesantren di kota tersebut. Lebih fantastis lagi, ungkapan khas Gus Dur tersebut, kini telah menjadi milik seluruh masyarakat negeri ini, terutama kalangan nahdliyin. Disadari atau tidak, ungkapan tersebut seolah menyatukan batin seluruh umat Islam, sekaligus menunjukkan keakraban dalam suasana egaliter.

Keunikan lainnya, pemberian ruang seluas-luasnya kepada siapapun warga negeri ini untuk mengekspresikan gagasan dan keyakinannya sejauh tidak menyimpang dari norma sosial yang ada. Etnis Tionghoa yang sejak rejim Orde Baru dikebiri sebagian hal sosialnya, oleh Gus Dur diberi ruang yang dilindungi oleh regulasi yang kuat. Hasilnya, masyarakat kita kini lebih berwarna. Indonesia memang mayoritas muslim tetapi harus menjadi muslim yang mampu memberi ruang kepada non-muslim (termasuk Tionghoa dengan kepercayaannya) untuk hidup bersanding. Karena gagasan tersebut, Gus Dur pun diberu gelar ‘Bapak Pluralisme’ dari Indonesia.

Kemajemukan menurut Gus Dur adalah karunia Tuhan Yang Maha Kuasa yang patut dijaga. Dan usaha penyeragaman merupakan tindakan pembunuhan diri secara perlahan. Seorang nasionalis sejati adalah orang yang mampu melihat kemajemukan sebagai kekuatan apabila dikelola dengan harmonis. Gus Dur telah melakukan itu semua dan apresiasi terhadap gagasan itu, sungguh luar biasa.

Romantis Kekirian

Tidak keliru apabila saya menyebut Gus Dur adalah sosok sintesis dari seluruh gagasan besar tokoh dunia. Dengan sangat santun dan menempatkan ‘manusia’ sebagai pribadi yang –harus—utuh, Gus Dur mampu meramu pemikiran humanisme, sosialisme, komunisme, realisme, dalam bingkai ajaran Islam yang sangat –dan sangat—modern. Semua –isme atau gagasan tersebut adalah hasil apresiasi manusia atas jamannya. Sebagai hasil kreasi manusia, tentu tidak terlepas dari kekurangan dan kelebihan. Seiring perkembangan jaman, manusia harus terus melakukan koreksi tanpa menyalahkan gagasan di masa lalu. Proses tersebut dilakukan Gus Dur dengan sangat baik meski gagasan sintetis-nya tidak jarang mengundang kontroversi.

Manusia yang utuh adalah manusia yang memahami diri dan sejarahnya sebagai bekal untuk menata masa depannya. Demikian kurang lebih ‘saripati’ gagasan Gus Dur yang lazim disebut ‘pluralisme’. Kemajemukan harus diterima sebagai konsekwensi kita menjadi warga dunia yang terus berkembang. Pada titik ini, saya menyebut Gus Dur merupakan figur ‘romantis kekirian’. Sikapnya untuk membela kemajemukan seringkali dicap pembela kaum kiri namun dalam usaha pembelaannya tersebut, Gus Dur sangat romantis. Artinya, bukan jalan kekerasan yang digunakan, seperti cacatan kelam di Rusia, China, Afrika yang menelan ribuan korban. Tetapi Gus Dur membawa sintesa kirinya dengan sangat romantis. Dan menurut saya, sikap romantis kekirian inilah cara ‘dewasa’ memahami kemajemukan.

Masih dalam konteks kekirian, rupanya kita perlu mengingat kembali cara Gus Dur dalam menyampaikan gagasan. Kritik dan apresiasi atas suasana sosial-politik yang terjadi semasa hidupnya, disampaikan dengan teknik tidak lazim, yakni guyonan dan sindiran. Gaya jenaka Gus Dur mengisyaratkan kebersahajaan, kesederhanaan, dan jauh dari tendensi apapun. Menjadi manusia apa adanya merupakan inti sejumlah sindiran satir mantan Ketua Dewan Kesenian Jakarta di tahun 70-an itu. Jujur saja, belum ada tokoh besar negeri manapun yang menggunakan gaya jenaka dalam menyampaikan gagasan besarnya.

Respon Gus Dur yang tercermin lewat gaya bicaranya, esainya, maupun buku-bukunya menunjukkan kecerdasan yang muncul dalam fase sintesis. Gus Dur tidak melawan dan berada di posisi anti tesis tetapi mencoba membuat formulasi sintesis yang khas dan mendamaikan umat apapun latar belakang sosial, politik, dan budayanya. Oleh karena itu, hingga sepanjang hayatnya, Gus Dur tetap menjadi sosok yang dirindukan, penuh kontroversi, namun menyejukkan setiap manusia lintas batas agama.

Begitulah Gus Dur apa adanya.

Gitu aja kok repot...!***  

*) Cucuk Espe, Alumnus Universitas Negeri Malang dan Peneliti Lembaga Baca-Tulis Indonesia tinggal di Jombang – Jatim.

(esai ini pernah dimuat Rubrik Horizon - Radar Surabaya, 19/01/2014)

No comments: