Thursday, September 2, 2010

NEKOLIM ERA SBY

Oleh: Cucuk Suparno, penulis dan budayawan

Neo Kolonialisme dan Imperialisme (Nekolim) pernah populer di era Orde Lama. Bahkan kalangan nekolim sempat dicap komunis sehingga menjadi musuh utama negara.

Tetapi, di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini, nekolim memperoleh tafsir baru dan semakin kuat mencengkeramkan kukunya di bumi Indonesia tercinta ini. Nekolim abad 21!

Isu penjajahan dan penindasan dengan cara baru (baca; nekolim) sebenarnya isu lama. Isu tersebut pernah menyita perhatian dunia ketika Soekarno memerintah di era Orde Lama. Nekolim dianggap antek Partai Komunis Indonesia (PKI) yang bergerak merusak sendi-sendi pejuangan kaum revolusioner. Nekolim dicap telah memporakporandakan keteraturan sistem ekonomi, politik, dan hukum di era itu sehingga nekolim harus diberangus!

Tetapi sadarkah, justru di abad 21 ini, di era pemerintahan SBY-Boediono, kita merasakan dan menemukan nekolim gaya baru telah merusak sendi perikehidupan berbangsa dan bernegara. Gaya/ strategi yang digunakan adalah baru, maka banyak mengecoh publik. Bahkan, tanpa sadar –mungkin—kita sedang terseret dalam arus besar nekolim.

Neo kolonialisme dan inperialisme kini (nekolim) telah bermetamorfosis sehingga memperoleh tafsir baru yang lebih kontekstual. Nekolim abad 21 merupakan gerakan simultan –dalam arus besar—yang memosisikan rakyat sebagai obyek pembangunan nasional. Artinya, nekolim di era kekinian telah membabat visi ‘kedaulatan berada di tangan rakyat’ digantikan dengan ‘kedaulatan berada di tangan pejabat dan konglomerat’. Imbasnya, rakyat menjadi lemah dan tidak memiliki posisi tawar sama sekali.

Cakar Nekolim

Sudah 65 tahun secara de jure kita merdeka. Patut disyukuri, berkat perjuangan panjang yang mengorbankan segala jiwa dan raga, akhirnya Indonesia berhasil memproklamirkan diri sebagai negara merdeka. Proklamasi –secara hukum—merupakan tonggak batas era penjajahan dan kemerdekaan. Tetapi secara de facto, situasi sosial, politik, hukum, hankam, dan kebudayaan masih jauh dari merdeka. Hampir setiap waktu, kita menyaksikan penjajahan baru menggilas kemerdekaan asasi.

Inilah yang saya sebut nekolim abad 21 atau lebih mengerucut nekolim era SBY. Sebagai figur pemimpin, SBY memang tokoh yang tiada tanding. Berwibawa, ahli setrategi, disegani, meski terkadang terkesan melow (sering curhat). Nah! Di era kepemimpinannya inilah cakar nekolim semakin kuat mencengkeram hampir di semua lini kehidupan berbangsa dan bernegara.

Coba amati, praktek kolonialisme di bidang pendidikan yang memperburuk citra dan prestasi pendidikan nasional. Dilihat dari setrategi pengelolaan pendidikan, Indonesia menduduki peringkat 112 dunia di bawah Myamar, Thailand, dan Vietnam (per Juli 2010). Padahal negara-negara itu –10 tahun lalu—jauh di bawah kita. Ditambah lagi, pemberian beragam status (palsu?) terhadap sekolah-sekolah sesuai sistem pendidikan nasional seolah menciptakan kesenjangan sosial semakin kuat.

Status RSBI, Akselerasi, SBI merupakan bentuk pengejawantahan sekolah itu mahal dan tidak bisa dimasuki siapa saja meski cerdas. Uang memegang peranan penting. Inilah yang saya sebut kita telah dijajah oleh sistem pendidikan yang diciptakan pemerintah.
Di bidang kesehatan, hadirnya jaminan kesehatan (jamkesmas) bagi keluarga miskin adalah terobosan yang melegakan masyarakat. Ironisnya, jamkesmas justru dimainkan oleh birokrat mulai tingkat desa hingga pihak rumah sakit dan masyarakat miskin semakin terjepit ketika harus mengurusnya.

Apalagi di bidang ekonomi, Indonesia menjadi negara dengan indeks pengangguran sangat tinggi. Angka pengangguran ini membias kepada meningkatnya penyakit sosial (kriminalitas) serta meningginya gelombang migrasi. Dari desa ke kota maupun antar negara dengan menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI). Situasi ini diperparah dengan mahalnya biaya hidup di Indonesia. Harga sembako yang menjadi hajat primer melonjak melangit. Masyarakat –terutama lapisan menengah ke bawah—semakin sulit ‘melayakkan’ kehidupan mereka. Inilah kenyataan sosial yang telah dicakar nekolim!

Mental Nekolim

Mental korup, tidak jujur, mencari keuntungan di balik proyek publik, merekayasa program sosial demi keuntungan pribadi merupakan ciri utama mental nekolim. Menurut saya, mental-mental demikian masih tumbuh subur di kalangan aparat dan birokrat di semua jenjang, mulai pusat apalagi di daerah.

Bukti paling mudah, berapa banyak pemimpin daerah (bupati dan walikota) yang kini masuk bui? Juga cukup banyak masyarakat pendidikan (guru dan kepala sekolah) yang terjerat kasus korupsi dana pendidikan. Ditambah lagi, laku tidak jujur yang menjadi lakuan utama para anggota legislatif di pusat maupun daerah. Tujuan semua perilaku tersebut cuma satu; saya harus untung, tak peduli bagaimana caranya!

Nah, nekolim gaya baru ternyata telah mengkooptasi harapan rakyat untuk hidup sejahtera dan memperoleh keadilan. Yang lebih memprihatinkan, aksi nekolim ini dilakukan secara simultan oleh pemerintah. Akibatnya masyarakat menjadi korban kebiadaban mental pemimpinnya sendiri. Keadilan tidak merata, kesejahteraan hanya dinikmati segelintir orang adalah ciri masih kuatnya cengkeraman cakar neokolonialisme dan imperialisme di Indonesia. Inilah nekolim di era SBY! (*)

sumber; kabar indonesia eds.18/08/2010)

No comments: